Sabtu, 10 November 2007

Anak-anak Terlantar

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.” (pasal 34 UUD 1945)

Dunia anak-anak adalah dunia yang seharusnya menyenangkan bagi sebagian orang. Dunia saat seseorang belum mengetahui apa-apa selain mereka begitu saja menikmati detik-detik hidupnya. Kalaupun anak itu hidupnya terbebani, itu akibat intervensi orang tua atau lingkungan di sekitarnya terhadap dirinya.

Dalam keadaan normal, anak akan hidup bersama kedua orangtuanya. Mereka bersama-sama melalui hidup dalam suatu rumah tangga. Namun, ada saja kondisi perkecualian dimana seorang anak tidak mengalami kondisi normal tersebut. Salah satunya, jika si anak kehilangan salah satu atau kedua bagian dari orangtuanya. Bisa juga misalnya si anak tidak mendapatkan kenyamanan dalam keluarga sehingga akhirnya dia lebih memilih keluar dari rumahnya untuk menjajal kehidupan baru terlepas dari orangtua. Tentu saja kondisi perkecualian ini akan sangat mempengaruhi jiwa si anak.

Seperti kisah Lintang dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, digambarkan seorang anak yang sebenarnya mempunyai kemampuan cemerlang dalam bidang akademik. Sayangnya, kemampuan itu harus terkubur ketika ayahnya meninggal dunia, dimana Lintang harus menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Kisah ini barangkali sudah sangat sering terjadi di sekeliling kita. Lagi-lagi realitas ini belum cukup mampu menggugah setiap elemen bangsa karena keadaan tersebut bukan termasuk bagian yang terlalu mengusik ruang-ruang pribadi.

Panti asuhan

Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial, menjadi salah satu jawaban terhadap masalah tersebut. Di tempat itu, seorang anak bisa mendapatkan dunianya kembali melalui program-program yang diselenggarakan disana. Bahkan si anak bisa mengakses pendidikan, yang menjadi barang mahal bagi keluarga si anak sebelumnya. Ditambah kekuatan dogma agama dalam menyuruh umatnya untuk beramal, keberadaan panti asuhan yang senantiasa mendapatkan aliran dana dari masyarakat tentu saja akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup si anak tersebut.

Sayangnya, panti-panti asuhan yang ada tidak semuanya milik pemerintah dengan keterjaminan dana. Hal ini karena jumlah anak yang meminta perhatian, lebih dari kemampuan jangkauan panti-panti asuhan milik pemerintah. Beruntung sekali jika panti asuhan non pemerintah ditangani secara profesional. Parameternya biasanya dalam hal efisiensi dana. Jika pemasukan dana panti asuhan lancar, tentunya pekerjaan berikutnya hanya tinggal bagaimana cara mengefisiensikan dana tersebut. Sementara jika pemasukan dana seret, akan berimbas pada kondisi yang dialami penghuni panti asuhan tersebut. Lagi-lagi karena pemerintah tidak sanggup memberikan solusi, maka permasalahan ini menjadi tanggung jawab masyarakat.

Orangtua asuh

Sistem orangtua asuh bisa jadi menjadi salah satu jawaban. Bedanya system ini lebih membutuhkan inisiatif pribadi si orangtua asuh. Konsekuensinya pelayanan terhadap anak akan lebih maksimal karena biasanya si orangtua keadaannya lebih mapan. Bahkan kalau dihitung ongkos efisien per orang, angkanya jauh lebih besar daripada di panti asuhan.

Jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak diikuti persentase umat beragama yang besar pula, seharusnya sistem orangtua asuh dengan model apapun bisa menutupi kebutuhan anak terlantar. Ketimpangan kondisi ekonomi penduduk Indonesia sayangnya tidak diikuti oleh pembagian harta yang baik lewat mekanisme sosial. Akibatnya yang kaya tetap kaya tanpa peduli sekelilingnya dan yang miskin tetap miskin sambil hanya bisa berkhayal turunnya uang dari langit.

Lakukan sebisanya

Perhatian terhadap anak terlantar sebenarnya tidak hanya berupa perhatian dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal perhatian, perlindungan, keamanan, agama, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Justru kapitalismelah yang menyederhanakan permasalahan dengan mengartikan uang sebagai jawaban dari segala pertanyaan. Pemerintah sebagai pihak pelaksana amanah rakyat, juga ikut terkena imbas kekelirupahaman ini.

Pengertian “dipelihara” oleh negara itu seharusnya (kalaupun benar alasannya) tidak bisa begitu saja dilepastanggungjawabkan penanganannya oleh pemerintah dengan alasan minimnya dana. Karena kalau menilik keluasan cakupan kebutuhan anak tersebut, ada banyak cara untuk tetap mengusahakan “pemeliharaan”.

Sudah diketahui bersama bahwasanya masyarakat Indonesia saat ini sudah jauh lebih cerdas dari masyarakat Indonesia jaman orde Baru. Belum lagi dengan semakin memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Masalah seperti ini tentunya tidak hanya menjadi tugas Departemen Sosial sebagai pengejawantahan pemerintah, tetapi juga membutuhkan kerja bareng dengan masyarakat ataupun elemen-elemen masyarakat.

Kepedulian terhadap sesama sudah menjadi kebutuhan yang hendaknya menjadi karakteristik seluruh elemen bangsa. Kalaupun belum tercapai, semangat ini harus disemarakkan. Bahkan sebisa mungkin mengalahkan semaraknya peringatan kemerdekaan. Negeri ini belum merdeka selama masih ada anak negeri yang dalam kondisi belum merdeka karena kemerdekaan tidak terkecuali dari setiap jengkal tanah pertiwi.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger