Sabtu, 03 Maret 2007

SUTET, sebuah Pengorbanan untuk Kepentingan Bangsa

(oleh : Arief Rakhman Prasetyo )

Kebutuhan terhadap tenaga listrik semakin hari semakin meningkat. Tentu saja harus diikuti dengan penambahan jumlah sarana transmisi (penyaluran) dan sarana distribusi (pembagian) listrik. SUTET adalah singkatan dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dengan kekuatan 500 kV yang ditujukan untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat pembangkit yang jaraknya jauh menuju pusat-pusat beban (gardu-gardu induk) sehingga energi listrik bisa disalurkan dengan efisien. Kemudian ada lagi SUTT (Saluran Udara Tegangan Tinggi) yang kapasitasnya di bawah SUTET, yang fungsinya juga menyalurkan energi listrik dari pusat pembangkit menuju pusat beban. Kalau kita melewati jalan raya, di tepi jalan akan terlihat tiang-tiang listrik Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dengan kekuatan 20 kV. Sedangkan di tepi jalan-jalan desa, akan terlihat tiang-tiang listrik Saluran Rumah (SR) yang lebih kecil dari JTM dengan kapasitas 220 V. Untuk mendistribusikan listrik ke masyarakat memerlukan semua jaringan itu, dari SUTET, JTM, hingga SR. Jika salah satu bagian saja hilang, maka distribusi listrik akan berjalan tidak seimbang. Tentu saja, masyarakat hanya bisa mengeluh dan menyalahkan pemerintah (PLN).

Berbagai macam kekhawatiran muncul akan dampak SUTET terhadap kesehatan bagi penduduk yang tinggal di wilayah yang dilewati jalur SUTET. Sebuah penelitian pertama kali dilakukan oleh Wertheimer dan Leper pada tahun 1979 yang menemukan adanya pengaruh medan elektromagnetik yang bisa menyebabkan kanker otak pada anak. Perlu diketahui bahwa setiap aliran listrik pasti menimbulkan medan magnet di sekeliling penghantar. Namun, besarnya berbeda-beda tergantung pada jarak terhadap penghantar dan besarnya arus listrik yang mengalir. Semakin dekat jaraknya, dan semakin besar arusnya tentu saja semakin besar medan magnet yang terpanjar. Jika kita amati, pada SUTET yang berkapasitas 500 kV, arus yang mengalir sangatlah besar, dan tentu saja medan magnet yang terpanjar sangat besar pula. Hal inilah, yang menurut Wertheimer dan Leper, beresiko menimbulkan kanker otak pada anak.

Akan tetapi, penelitian tidak berhenti sampai di situ saja. Sejak penelitian tersebut, berbagai studi epidemiologi dan laboratorium lainnya dilakukan sebagai replikasi dan eskpansi penelitian Wertheimer di berbagai negara. Namun hasil yang didapat justru beragam, bahkan sebagian besar bersifat kontradiktif. Dilaporkan, studi Feyching dan Ahlboum, 1993, meta analisisnya merupakan penelitian yang mendukung hasil Wertheimer, sedangkan studi National Cancer Institute (NCI) tahun 1997 di Amerika Serikat, studi Kanada 1999, studi Inggris 1999-2000 dan studi Selandia Baru menemukan hasil yang tidak mendukung Wertheimer.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Gerald Draper dan koleganya dari Chilhood Cancer Research Group di Oxford University dan Dr. John Swanson, penasehat sains di National Grid Transco, menemukan bahwa anak-anak yang tinggal kurang dari 200 meter dari jalur tegangan tinggi, saat dilahirkan memiliki resiko menderita leukimia sebesar 70 persen daripada yang tinggal dari jarak 600 meter atau lebih. Ditemukan lima kali lipat lebih besar kasus leukimia pada bayi yang dilahirkan di daerah sekitar SUTET atau sebesar 400 dalam setahun dari 1 persen jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Secara keseluruhan, anak-anak yang hidupnya dalam radius 200 meter dari tiang tegangan tinggi sekitar 70 persen diantaranya terkena leukimia dan yang hidup antara 200-600 meter sekitar 20 persen dibandingkan dengan yang tinggal lebih dari 600 meter. Walaupun demikian, peningkatan resiko leukemia masih ditemukan pada jarak dimana besar medan listrik bernilai di bawah kondisi di dalam rumah, sehingga disimpulkan bahwa peningkatan resiko leukemia tidak diakibatkan oleh medan listrik atau medan magnet yang diakibatkan oleh SUTET

Berdasarkan hasil penelitian Dr. dr. Anies, M.Kes. PKK, pada penduduk di bawah SUTET 500 kV di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Tegal (2004) menunjukkan bahwa besar risiko electrical sensitivity pada penduduk yang bertempat tinggal di bawah SUTET 500 kV adalah 5,8 kali lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang tidak bertempat tinggal di bawah SUTET 500 kV. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pajanan medan elektromagnetik yang berasal dari SUTET 500 kV berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk, yaitu sekumpulan gejala hipersensitivitas yang dikenal dengan electrical sensitivity berupa keluhan sakit kepala (headache), pening (dizziness), dan keletihan menahun (chronic fatigue syndrome). Hasil penemuan Anies menyimpulkan bahwa ketiga gejala tersebut dapat dialami sekaligus oleh seseorang, sehingga penemuan baru ini diwacanakan sebagai "Trias Anies".

Corrie Wawolumaya dari Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pernah melakukan penelitian terhadap pemukiman di sekitar SUTET. Hasilnya tidak ditemukan hubungan antara kanker leukemia dan SUTET

John Moulder mencoba menarik kesimpulan dari ratusan penelitian tentang dampak SUTET terhadap kesehatan. Moulder menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat antara medan tegangan listrik dan kesehatan manusia (termasuk kanker). Walaupun demikian medan tegangan listrik belum bisa dibuktikan benar-benar aman. Selain itu disepakati juga bahwa jika ada bahaya kesehatan terhadap manusia, maka itu hanya terjadi pada sebagian kecil kelompok.

WHO berkesimpulan bahwa tidak banyak pengaruh yang ditimbulkan oleh medan listrik sampai 20 kV/m pada manusia dan medan listrik sampai 100 kV/m tidak mempengaruhi kesehatan hewan percobaan. Selain itu, percobaan beberapa sukarelawan pada medan magnet 5 mT hanya memiliki sedikit efek pada hasil uji klinis dan fisik.

Saat sebagian besar penelitian mengungkapkan tidak ada hubungan yang sangat erat antara medan elektromagnetik yang diakibatkan SUTET terhadap fisik manusia, apalagi dengan adanya standar penerapan SUTET dari WHO (yang diterapkan PLN/Pemerintah) yang meminimalisir kerugian yang berefek pada manusia, dan mengingat kebutuhan yang memang sangat penting untuk pendistribusian energi listrik ke semua pelosok negeri dengan kapasitas sesuai kebutuhan. Memang permasalahan yang masih serius adalah masalah biaya penggantian tanah yang digunakan untuk pengadaan jaringan SUTET yang masih di bawah standar. Lalu siapa yang salah ?

Ketika dana yang disiapkan pemerintah mungkin memang terbatas, sementara sebagian rakyat yang memiliki lahan SUTET memang benar-benar butuh uang pengganti tersebut. Yang salah adalah pihak-pihak yang memancing di air keruh, yang memanfaatkan momen ini untuk kepentingan dirinya sendiri, pihak-pihak yang sudah memahami bahwa pemerintah masih “banyak hutang” tetapi malah membebani pemerintah dengan perilaku korupsi terhadap biaya penggantian lahan untuk SUTET, pihak-pihak yang aji mumpung, menerapkan harga tanah yang berlebihan mumpung pemerintah tidak punya pilihan selain membeli tanah rakyat, dan pihak-pihak yang terlalu berlebihan dan terlalu berhati-hati tidak pada tempatnya dengan menganggap SUTET seolah-olah akan “membunuh” masyarakat atau bahkan pihak-pihak yang menyengaja kericuhan ini untuk menghancurkan pihak lain supaya kelompoknya mendapat keuntungan politik yang imbasnya juga untuk kepentingan dirinya sendiri.

Saat inilah, jiwa-jiwa nasionalisme rakyat diuji, apakah rakyat masih gemar memanfaatkan Negara untuk kepentingan pribadinya sendiri ataukah rakyat sudah benar-benar bisa “merakyat” dengan melancarkan program SUTET pemerintah ini. Tentunya pemerintah sebagai lembaga yang merepresentasikan bangsa, bukan pemerintah sebagai personal. Wallahu A’lam




Persembahan untuk Bangsa

Menulis, apapun akan menjadi pekerjaan mengasyikkan saat kita berpikir bahwa itu asyik. Namun, memang membutuhkan sebuah semangat dan tekad yang besar untuk kemudian membiasakannya. Seperti kata-kata rayuan seorang pengedar narkoba, ”tak ada salahnya mencoba”, sehingga harapannya kita bisa menjadi ketagihan terhadap yang kita coba tadi. Bahkan, menulis itu barangkali lebih dahsyat efeknya daripada sebuah pil harkotika. Karena disinilah kita bisa mengaktualisasikan segala emosi, potensi, dan apapun yang ingin kita tumpahkan dari diri kita. Sebuah kepuasan yang bisa jadi melupakan sejenak segala permasalahan bahkan bisa jadi kepuasan itu memutarbalikkan masalah menjadi sebuah pelecut semangat. Hari ini, entah untuk kesekian kalinya, kucoba lagi untuk memaksakan jari-jemari ini untuk menuliskan apapun, minimal melatih jari tangan ini untuk berolahraga ketik, sebuah olahraga yang jarang terpikirkan.

Tersebutlah di suatu negeri seorang anak yang secara fisik, kurang memadai, kulit hitam, pendek, meski tidak terlalu buruk rupa, namun kelemahan fisik itu terkadang membuatnya tidak percaya diri. Ada satu keunggulan yang tidak dipunya orang lain, yaitu kecerdasan otaknya. Sayangnya, tabiat manusia yang suka mengeluh dan kurang bisa mensyukuri karunia Allah, membuatnya seringkali tidak cukup puas walaupun prestasi akademik di sekolahnya sudah ditaklukkan. Dia terus saja mengejar segalanya, seolah seisi dunia ini hendak menjadi miliknya. Cerita di atas tampaknya sudah terlalu sering melintasi pikiran kita, entah karena kita yang mengalaminya atau karena kita sudah sering mendapatkan cerita seperti itu. Sebuah pemikiran yang sempit, karena tidak mungkin manusia bisa sempurna, menguasai segalanya. Bahkan, Bill Gates yang kaya pun, konon sudah bosan dengan kekayaannya. Memang anehnya manusia, seringkali tidak mudah percaya dengan perkataan atau nasehat orang lain sebelum dia mengalami sendiri. Selalu saja merasa kurang dengan pemberian Allah.

Sebenarnya amat disayangkan saat kita justru lebih sering berkonflik dengan diri sendiri seperti cerita diatas terkait hal-hal yang menurut saya sungguh sangat kecil jika dibanding permasalahan bangsa ini, yang benar-benar membutuhkan sebuah solusi konkret dari masing-masing kita. Bangsa ini sudah bosan dengan wacana, tetapi benar-benar menunggu aksi konkret anggota bangsa. Sebuah permasalahan yang kompleks bukanlah untuk dihindari atau bahkan semakin diperparah, tetapi untuk dicicil untuk digarap bersama, kalau tidak bisa secara cepat, secara perlahan pun tak mengapa. Asal solusi tidak berjalan mundur saja.

Sikap-sikap politisi negeri ini akhir-akhir ini benar-benar semakin menunjukkan kalau kita memang harus menunggu satu generasi berganti. Karena mereka sama sekali tidak menunjukkan semangat membangun bersama bangsa, saat mereka justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau bahkan konstituennya. Sikap-sikap yang tidak dewasa dari pejabat-pejabat kita, semakin membuat miris ibu pertiwi ini. Pejabat yang berzina cukuplah memberi bukti betapa rendahnya moral pejabat bangsa ini. Satu generasi bukanlah waktu yang lama untuk menunggu, karena sekarang kita sudah benar-benar berada di garda terdepan. Tunggu apa lagi, persiapkanlah bekal untuk segera menggantikan politisi-politisi busuk itu, yang tak ada bedanya dengan lintah darat.

Bersatu Membangun Bangsa

( oleh : Arief Rakhman Prasetyo )

Rentang waktu hampir dua minggu hingga 20 November 2006 menjadi bukti bahwa Bush telah menjadi “pemersatu” bangsa Indonesia saat demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah hampir mufakat menyatakan penolakan kedatangan dirinya di tanah air ini. Meskipun ada beberapa kelompok yang sempat menunjukkan kekuatannya sebagai kelompok pro-kedatangan Bush, hal ini sama sekali tidak signifikan dibanding berbagai gejolak kelompok-kelompok anti-kedatangan Bush. Bangsa ini butuh musuh bersama untuk menguji sejauh mana solidaritas antar sesama masyarakat. Tampaknya Bush telah menjadi sosok ”penjahat” dunia yang kedatangannya pun sangat tidak diharapkan. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama dari segenap elemen masyarakat Indonesia yang benar-benar sudah menyadari segala efek kebijakan Bush yang ”menyakiti” penduduk dunia.

Praktis semenjak Indonesia sudah benar-benar lepas dari belenggu penjajahan, bangsa ini seolah-olah benar-benar telah bebas dari cengkeraman musuh. Musuh bangsa yang ”abstrak” seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain-lain, belum cukup mampu menggugah semangat setiap warga negara untuk benar-benar berkorban demi bangsa. Justru masalah-masalah kecil yang ada di dalam negeri yang tidak tertangani, menjadi musuh bagi sebagian masyarakat. Seperti misalanya masalah SARA, otonomi daerah, dan lain-lain. Jadi bukannya musuh bersama, tetapi semangat saling bermusuhan yang timbul dan menjamur di negeri ini.

Dalam bukunya, Marwah Daud Ibrahim menuliskan bahwa sukses bangsa adalah akumulasi sukses individu. Tetapi, yang nyata-nyata kita saksikan justru sebaliknya, kegagalan bangsa adalah akumulasi kegagalan individu. Cara berpikir yang salah, seperti memaklumi kesalahan sepele karena berpikir hanya dirinya yang melakukan kesalahan, bahkan pemakluman itu menjadi kebiasaan. Hasilnya antara lain terjadi penyelundupan, penebangan liar, pemborosan energi, karena masing-masing orang berpikir sama, ”gak papa berbuat salah, toh cuma saya sendiri (atau toh cuma sedikit)”. Ironisnya lagi saat pejabat-pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan baik justru menyulap dirinya masing-masing menjadi panutan dalam keburukan. Penghamburan kas negara dengan studi banding (wisata) ke luar negeri, mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya dalam rapat alih-alih menyampaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya, elitisme dalam bersikap, dan sebagainya.

Apalagi sikap politis yang ditunjukkan oleh politisi-politisi negeri ini yang semakin menunjukkan egonya masing-masing, membuat negeri ini harus lama bersabar untuk segera bangkit. Kursi kekuasaan dengan mudahnya dibeli dengan segepok duit, tanpa melihat kredibilitas calon. Kekuasaan pun terkena imbas kapitalisme, siapa kaya dialah yang bisa menjadi pemimpin (gubernur, bupati, walikota, dan lain-lain), bahkan si kaya akan tetap kaya dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya. Sementara saat masyarakat bersikap sinis dan skeptis justru dianggap tidak menciptakan iklim kondusif untuk perbaikan bangsa. Sebenarnya siapa yang salah ? Di mata masyarakat banyak, yang salah adalah para pejabat yang ada di atas. Pandangan ini pun terlalu abstrak. Karena saat kita bertanya kepada pejabat-pejabat di atas, mereka pun menganggap kesalahan mereka adalah sebuah kewajaran, sebagai imbas dari sistem yang memberikan celah bagi kesalahan-kesalahan itu. Atau ada juga pejabat-pejabat yang menyalahkan oknum pejabat yang lain. Bahkan, parahnya ada juga yang menyalahkan rakyat karena budaya masyarakat yang tidak profesional, karena kesadaran dan semangat berubah ke arah lebih baik yang belum ada. Maling teriak maling.

Bangsa ini tidak akan maju saat tidak berani mengakui kesalahannya dan justru lebih suka menyalahkan orang lain atau bahkan mencari berbagai macam alibi/pembelaan. Masa lalu yang suram jangan terus kita jadikan bukti bahwa negeri ini sudah benar-benar rusak, apalagi sampai kita beranggapan bahwa tidak mungkin negeri ini menjadi negeri yang maju. Akan lebih bijak, jikalau setiap orang melaksanakan segala tanggung jawab sesuai porsinya dengan sebaik-baiknya, dengan sempurna. Marilah kita ubah paradigma kita, yang semula beranggapan ”hanya saya sendiri yang melaksanakan tanggung jawab dengan baik” menjadi ”hanya saya sendiri yang belum melaksanakan tanggung jawab dengan baik”. Saat kita bisa menyadari bersama bahwa sukses masing-masing individu kita memberi andil yang luar biasa bagi kesuksesan bangsa ini, Indonesia tak lama lagi menggantikan posisi negara adidaya dan superpower, Amerika Serikat. Semoga saat Indonesia menjadi negara adidaya, kedatangan Presidennya tidak dihadapi dengan demonstrasi penolakan besar-besaran tetapi justru disambut dengan senyuman rakyat yang dikunjunginya. Hidup Indonesiaku !


Dunia Paska Kampus

Gak terasa, sekarang sudah semester 6. Berarti 1 tahun lagi dah lulus. Terus mo kemana setelah lulus ? Yang paling jelas, mo NIKAH. Lha, trus anak-istri mo dikasih makan apa ? Berarti harus kerja dong ...

Koq aku sama sekali gak ada kekhawatiran MENGANGGUR. Aku dah cukup yakin dengan almamater Universitas Gadjah Mada-ku.

Yang menjadi masalah adalah profesi apa yang akan aku tekuni. Ada 3 macam, yang sampai detik ini benar-benar masih membingungkanku. Antara profesi dosen, teknokrat, dan wirausahawan.

Ketiganya ada kelebihan dan kekurangannya.

DOSEN
1. Relatif punya banyak waktu kosong
2. Pekerjaan lebih tenang
3. Penghasilan sangat standar

TEKNOKRAT
1. Bakal sibuk banget
2. Waktu habis untuk pekerjaan
3. Penghasilan sangat besar

WIRAUSAHA
Kalo sukses :
1. Banyak waktu kosong
2. santai
3. Penghasilan benar-benar tergantung usaha kita

Wah, pilih yang mana ya... Masalahnya aku gak punya bakat wirausaha kayaknya. Yah, moga waktu bisa mematangkan pikiranku untuk memilih mana yang lebih menarik.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger