Sabtu, 10 November 2007

Anak-anak Terlantar

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.” (pasal 34 UUD 1945)

Dunia anak-anak adalah dunia yang seharusnya menyenangkan bagi sebagian orang. Dunia saat seseorang belum mengetahui apa-apa selain mereka begitu saja menikmati detik-detik hidupnya. Kalaupun anak itu hidupnya terbebani, itu akibat intervensi orang tua atau lingkungan di sekitarnya terhadap dirinya.

Dalam keadaan normal, anak akan hidup bersama kedua orangtuanya. Mereka bersama-sama melalui hidup dalam suatu rumah tangga. Namun, ada saja kondisi perkecualian dimana seorang anak tidak mengalami kondisi normal tersebut. Salah satunya, jika si anak kehilangan salah satu atau kedua bagian dari orangtuanya. Bisa juga misalnya si anak tidak mendapatkan kenyamanan dalam keluarga sehingga akhirnya dia lebih memilih keluar dari rumahnya untuk menjajal kehidupan baru terlepas dari orangtua. Tentu saja kondisi perkecualian ini akan sangat mempengaruhi jiwa si anak.

Seperti kisah Lintang dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, digambarkan seorang anak yang sebenarnya mempunyai kemampuan cemerlang dalam bidang akademik. Sayangnya, kemampuan itu harus terkubur ketika ayahnya meninggal dunia, dimana Lintang harus menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Kisah ini barangkali sudah sangat sering terjadi di sekeliling kita. Lagi-lagi realitas ini belum cukup mampu menggugah setiap elemen bangsa karena keadaan tersebut bukan termasuk bagian yang terlalu mengusik ruang-ruang pribadi.

Panti asuhan

Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial, menjadi salah satu jawaban terhadap masalah tersebut. Di tempat itu, seorang anak bisa mendapatkan dunianya kembali melalui program-program yang diselenggarakan disana. Bahkan si anak bisa mengakses pendidikan, yang menjadi barang mahal bagi keluarga si anak sebelumnya. Ditambah kekuatan dogma agama dalam menyuruh umatnya untuk beramal, keberadaan panti asuhan yang senantiasa mendapatkan aliran dana dari masyarakat tentu saja akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup si anak tersebut.

Sayangnya, panti-panti asuhan yang ada tidak semuanya milik pemerintah dengan keterjaminan dana. Hal ini karena jumlah anak yang meminta perhatian, lebih dari kemampuan jangkauan panti-panti asuhan milik pemerintah. Beruntung sekali jika panti asuhan non pemerintah ditangani secara profesional. Parameternya biasanya dalam hal efisiensi dana. Jika pemasukan dana panti asuhan lancar, tentunya pekerjaan berikutnya hanya tinggal bagaimana cara mengefisiensikan dana tersebut. Sementara jika pemasukan dana seret, akan berimbas pada kondisi yang dialami penghuni panti asuhan tersebut. Lagi-lagi karena pemerintah tidak sanggup memberikan solusi, maka permasalahan ini menjadi tanggung jawab masyarakat.

Orangtua asuh

Sistem orangtua asuh bisa jadi menjadi salah satu jawaban. Bedanya system ini lebih membutuhkan inisiatif pribadi si orangtua asuh. Konsekuensinya pelayanan terhadap anak akan lebih maksimal karena biasanya si orangtua keadaannya lebih mapan. Bahkan kalau dihitung ongkos efisien per orang, angkanya jauh lebih besar daripada di panti asuhan.

Jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak diikuti persentase umat beragama yang besar pula, seharusnya sistem orangtua asuh dengan model apapun bisa menutupi kebutuhan anak terlantar. Ketimpangan kondisi ekonomi penduduk Indonesia sayangnya tidak diikuti oleh pembagian harta yang baik lewat mekanisme sosial. Akibatnya yang kaya tetap kaya tanpa peduli sekelilingnya dan yang miskin tetap miskin sambil hanya bisa berkhayal turunnya uang dari langit.

Lakukan sebisanya

Perhatian terhadap anak terlantar sebenarnya tidak hanya berupa perhatian dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal perhatian, perlindungan, keamanan, agama, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Justru kapitalismelah yang menyederhanakan permasalahan dengan mengartikan uang sebagai jawaban dari segala pertanyaan. Pemerintah sebagai pihak pelaksana amanah rakyat, juga ikut terkena imbas kekelirupahaman ini.

Pengertian “dipelihara” oleh negara itu seharusnya (kalaupun benar alasannya) tidak bisa begitu saja dilepastanggungjawabkan penanganannya oleh pemerintah dengan alasan minimnya dana. Karena kalau menilik keluasan cakupan kebutuhan anak tersebut, ada banyak cara untuk tetap mengusahakan “pemeliharaan”.

Sudah diketahui bersama bahwasanya masyarakat Indonesia saat ini sudah jauh lebih cerdas dari masyarakat Indonesia jaman orde Baru. Belum lagi dengan semakin memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Masalah seperti ini tentunya tidak hanya menjadi tugas Departemen Sosial sebagai pengejawantahan pemerintah, tetapi juga membutuhkan kerja bareng dengan masyarakat ataupun elemen-elemen masyarakat.

Kepedulian terhadap sesama sudah menjadi kebutuhan yang hendaknya menjadi karakteristik seluruh elemen bangsa. Kalaupun belum tercapai, semangat ini harus disemarakkan. Bahkan sebisa mungkin mengalahkan semaraknya peringatan kemerdekaan. Negeri ini belum merdeka selama masih ada anak negeri yang dalam kondisi belum merdeka karena kemerdekaan tidak terkecuali dari setiap jengkal tanah pertiwi.

Minggu, 10 Juni 2007

Untukmu saudaraku !!!

Teringat konon ada guru SMAku iseng mengamati anak-anak SMA yang berangkat masuk sekolah. Ternyata dia coba memperkirakan "kekayaan" siswanya. So ...
Coba tebak berapa "harga dirimu" !!!

Kita hitung dari atas ke bawah (versi pria):
1. Helm yg kamu pakai harganya 35-200 ribu (anggap aja 50 ribu)
2. Kacamata seharga 100-300 ribu (anggap aja 150 ribu)
3. MP3/MP4 yang menempel di telingamu 250-500 ribu (anggap aja 300 ribu)
4. Baju yang kamu pakai 30-70 ribu (anggap aja 40 ribu)
5. Celana yang kamu pakai 40-100 ribu (anggap aja 50 ribu)
6. Pakaian dalam 25-50 ribu (anggap aja 30 ribu)
7. Tasmu seharga 50-250 ribu (anggap aja 70 ribu)
8. Laptop yang kamu punya 5-15 juta (anggap aja 8 juta)
9. HP yang kamu punya 300 ribu-2 juta (anggap aja 800 ribu)
10. Sepatu seharga 40-200 ribu (anggap aja 80 ribu)
11. Motor seharga 5-18 juta (anggap aja 8 juta)

Jadi harga diri kita Rp. 17.570.000,00. Kira-kira segitu lah, yang harus ditanggung oleh orangtua tercinta kita. Luar biasa bukan ???
Nih ... perkiraan minimal. Sapa tau ada tambahan lagi !!
Trus apakah kamu bangga dengan kekayaan itu ???
Bagaimana jika tiba-tiba barang itu hilang satu per satu ... Sudahkah kamu memikirkannya ?

Bersyukurlah kepada Yang memberikan rezeki sebenarnya ... ALLAH SWT !!!
Jangan pamer, karena sebenarnya kamu kebetulan pas dapat nasib baik. Bisa saja suatu saat keadaan berbalik, kamu jadi si tak mampu dan orang lain menjadi si mampu. Bayangkan jika kamu menjadi si tak mampu ...

Padahal keadaan kita yang "mapan" ini adalah ujian dari ALLAH. Dan menjadi kewajiban kita pula untuk membantu saudara-saudara kita yang lain. Karena bisa jadi yang mempunyai akses kuliah, akses menjadi pemimpin, akses menjadi kaya ... itu adalah kita yang jumlahnya sedikit.
Apakah kamu termasuk barisan penginjak-injak rakyat kecil dengan sikap egoismu terhadap nasibmu sendiri ? Tanpa bertanggung jawab kepada orang lain ... Jika itu yang kamu perbuat, sungguh DZOLIM !!

Membantu tidak hanya dalam konteks materi (harta), tetapi dalam segala hal. Misal membela hak-hak kaum miskin, memberikan banyak perhatian kepada mereka, membangkitkan semangat mereka dalam bekerja, memberikan pelatihan-pelatihan kepada mereka, dan masih banyak lagi ... Jadi mulai dari sekarang, terimalah mereka (orang miskin) dengan sepenuh hati. Karena mereka tidak menulari Anda.


akh_arman "progresif"

Rabu, 06 Juni 2007

PERCEPATAN PEMBELAJARAN

Peningkatan kapabilitas seseorang sangat bergantung tidak hanya dari kemampuan personal yang ada dalam diri individu tetapi juga sangat bergantung kepada bagaimana sebuah lingkungan bisa memberi perilaku perilaku paksaan yang dapat membangkitkan emosi dan motivasi untuk bergerak maju. Hal inilah yang perlu dipahami bagi setiap individu yang merasa perlunya sebuah peningkatan kualitas diri.

Sebagai contoh jika dibandingkan 2 orang mahasiswa yang mempunyai kapabilitas sama tetapi menghadapi tantangan yang berbeda, misalnya yang satu menjabat kepengurusan organisasi di tingkat jurusan sementara yang lain menjabat di tingkat universitas. Tentunya yang mendapat tantangan lebih besar akan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik daripada yang lebih kecil tantangannya. Akan tetapi, jabatan adalah sebuah permisalan. Bisa jadi tekanan tersebut berwujud waktu deadline suatu tugas, kesibukan akademik, tekanan masyarakat, atau dalam bentuk lain yang pada intinya memacu diri untuk cepat belajar dari pengalaman.

Lalu dalam konsep dakwah yang ada, akan sangat sulit jika kepahaman tentang dakwah maupun tentang agama belum merata di semua lini. Karena imbasnya terkadang justru saling melemahkan semangat dakwah satu sama lain, entah dengan bentuk psikologis, sosial maupun yang lain. Lalu pertanyaan yang ada apakah tahapan-tahapan dalam penyampaian materi dakwah harus dilangkahi atau dengan kata lain perlu sebuah percepatan penyampaian materi dakwah perlu dilakukan. Perlu sebuah komunikasi yang baik yang tidak saling merendahkan dan bisa membangun kesepakatan perlunya sebuah kesepahaman di setiap lini tersebut. Karena toh jika hanya beberapa orang yang paham sementara yang lain belum terlalu paham, hal ini akan sangat mengganggu tataran dakwah itu sendiri. Karena percepatan penyampaian materi dakwah ini juga sebuah dakwah, sebagaimana orang yang sama sekali belum pernah ngaji lalu secara kontras dipercepat untuk ngaji.

Sebaiknya yang dilakukan oleh orang-orang yang ”dipaksa” sistem untuk mempercepat pembelajaran adalah bagaimana mereka bisa menyadari dan memahami keadaan mereka, sehingga mereka bisa membangkitkan semangat untuk menjalani proses percepatan tersebut. Jangan sampai mereka tidak menyadari dan akibatnya justru tidak ada perubahan penting saat sebelum dan sesudah mereka mendapat perlakuan dari sistem tadi. Dan akan lebih baik jika orang-orang yang berada di luar sistem mengingatkan saudaranya akan ketidaksadarannya, toh kita berkewajiban mengingatkan satu sama lain.

Senin, 04 Juni 2007

Dilematika Kelistrikan Nasional

Permasalahan awet yang melanda bangsa ini salah satunya adalah masalah kelistrikan. Padahal di jaman modern, keberadaan listrik sudah menjadi keharusan. Keberlangsungan masalah itu bukan berarti pemerintah yang pasif. Akan tetapi, masih ada pergolakan yang menyebabkan proses penyelesain masalah itu sendiri tertunda. Pro dan kontra seputar kebijakan-kebijakan ketenagalistrikan masih terus bergulir, seolah tidak ada ramuan yang paling ideal untuk segala pihak. Akhirnya, ketenagalistrikan nasional berjalan di tempat, kalau tidak mau disebut mundur perlahan-lahan.

Gerakan hemat energi yang gagal

“Hemat energi, hemat biaya !”, mungkin itu salah satu bunyi iklan yang sering kita dengar. Sayangnya, imbauan ini tidak berimbas banyak kepada masyarakat. Perlu sosialisasi lebih lanjut untuk membangun kesadaran bersama bahwa energy listrik adalah milik kita bersama, tidak hanya milik personal. Saat hemat energy berarti hemat biaya, ini berarti saat masyarakat mampu membayar listrik yang mahal, mereka bebas menggunakan listrik seenaknya. Makanya, perlu dibangun lagi kesadaran bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami kelistrikan nasional. Mulai dari pembuatan listrik yang butuh banyak sumber energy sampai masalah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk setiap kilo watt yang digunakan masyarakat. Kepahaman masyarakat pun belum menyeluruh terkait cara-cara penghematan listrik. Masih banyak penggunaan peralatan listrik yang berdaya lebih dari kewajaran. Ada pula budaya mengecilkan sesuatu, dengan menganggap pemborosan yang dilakukan sendiri tidak berpengaruh apa-apa dibanding total beban listrik nasional. Jika berguru ke Jepang, masyarakat Indonesia sangat jauh dari budaya hemat. Masyarakat Jepang biasa mematikan lampu saat malam hari, menggunakan sepeda atau angkutan umum dalam perjalanannya, menggunakan peralatan-peralatan elektronik yang berdaya rendah, bahkan hingga tidak menganggap label modern identik dengan boros energy. Budaya hemat di negeri ini hanya menjadi bagian dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Masih ada yang belum menikmati listrik

Dari keseluruhan desa di Indonesia, masih ada sekitar 11% yang belum mendapat pasokan listrik. Memang kendala terbesarnya adalah keadaan geografis. Jika ini didiamkan saja, berarti pemerintah mendiskriminasikan daerah terpencil dalam alur pembangunan nasional. Perlu penelitian lebih lanjut untuk merumuskan cara mengusahakan listrik di daerah-daerah, selain dengan cara membuka jalur pentransmisian baru. Mengingat kondisi lapangan yang tidak lagi memungkinkan. Bisa jadi dengan memanfaatkan potensi local daerah tersebut. Ditambah lagi dengan prosedur pemasangan listrik yang kompleks di beberapa daerah. Setelah itu, yang juga perlu diperhatikan bahwa masyarakat kecil jangan sampai terkurangi aksesnya untuk memperoleh listrik hanya karena alasan ekonomi. Listrik adalah hajat hidup orang banyak, tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena jaman sekarang, tanpa listrik yang ada hanya kekolotan dan tradisionalisme. Memang pihak penyedia listrik Negara tidak bisa memungkiri telah mengecilkan perhatian terhadap kelistrikan di daerah-daerah terpencil.

Listrik yang mahal

Jenis pembangkit listrik terbanyak sampai sejauh ini masih berupa pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Pada tahun 2004 saja, dari 5.123 pembangkit yang ada, 4.776 diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga diesel. Kebanyakan dari diesel itu menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM semakin lama semakin mahal sehingga berimbas ke harga listrik itu sendiri. Sementara kas Negara tidak bisa mengikuti kenaikan harga BBM itu, subsidi pemerintah pun berkurang. Langkah yang paling memungkinkan adalah dengan menaikkan tarif dasar listrik. Subsidi pemerintah terhadap BBM hendaknya diupayakan lebih tepat sasaran. Selama ini, subsidi itu diberikan sama rata kepada seluruh rakyat. Padahal untuk lebih mengefektifkan anggaran, pemerintah bisa saja lebih mengutamakan rakyat kecil. Maksudnya, masyarakat dari golongan ekonomi menegah ke atas dibebani biaya tanpa subsidi. Sedangkan, alokasi subsidi itu nantinya dapat dialihkan untuk pos penting lainnya. Toh, sebetulnya yang paling banyak mengonsumsi BBM justru dari kalangan menengah ke atas. Belum lagi adanya permasalahan klasik dalam hal rugi-rugi daya atau masalah-masalah teknis lainnya yang belum dapat terselesaikan tuntas. Padahal sudah banyak lulusan teknik elektro yang seharusnya bisa dikaryakan untuk mengatasi masalah teknis seperti itu. Tak dapat dipungkiri pula, masih adanya penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan sehingga masyarakat menjadi korban “kekurangan” dana kelistrikan tersebut.

Energi alternative

Penelitian telah membuktikan bahwa diantaranya tanaman jagung,ketela, jarak pagar dan sawit dapat menghasilkan minyak. Harga minyak nabati itu jauh lebih murah dibanding harga minyak bumi. Akan tetapi, banyak sekali kendala dalam pengadaannya. Pemerintah tidak punya inisiatif untuk memfasilitasi penelitian dan pengadaan minyak nabati tersebut. Belum lagi saat pembukaan lahan untuk perkebunan tanaman-tanaman tersebut, menyisakan luka ekologis. Seperti mempersempit habitat spesies-spesies hutan, mengganggu keseimbangan alam, dan mengurangi keanekaragaman hayati. Ditambah lagi anggapan bahwa pemanfaatan minyak nabati, khususnya dari jagung dan ketela, akan memunculkan krisis pangan. Di sisi lain, energy alternative nuklir juga tidak luput dari pro dan kontra. Energi yang sampai saat ini masih menjadi sumber energy paling murah dan efektif, masih juga menimbulkan kekhawatiran terkait keamanannya. Tidak ada kepercayaan penuh kepada pemerintah Justru kebijakan yang diambil pemerintah (Perpres No.71/2006) adalah membangun pembangkit tenaga listrik tenaga uap berbahan-bakar batu bara. Asumsinya cadangan batu bara masih melimpah dengan kemungkinan baru akan habis sampai 100 tahun ke depan.

Pemerintah harus tegas dalam menghadapi pro dan kontra seputar ketenagalistrikan tersebut. Setidaknya pemerintah mempunyai kuasa untuk memilih dan harus mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Iran sudah berdiri paling depan di barisan Negara berteknlogi nuklir, India Berjaya di bidang informatika, sementara Indonesia masih saja berkutat dalam perdebatan panjang tentang perlu tidaknya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan lainnya. Permasalahan listrik sekarang tidak hanya berimbas kepada generasi ini, tetapi juga berimbas sampai generasi beratus-ratus tahun berikutnya. Bisa jadi, pada masa mendatang Indonesia harus membeli energy dari Negara lain karena cadangan energi yang tidak terkontrol penggunaannya di era sebelumnya.

Kasus Turki, Demokrasi = Anti Islam

Turki memiliki sejarah panjang dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan Islam. Sekitar pertengahan abad ke-13, Turki masih berupa kabilah kecil yang dipimpin oleh Erthogul. Sampai kemudian, seiring jatuhnya Kesultanan Seljuk oleh Mongol, kabilah kecil itu bisa memanfaatkan peluang untuk menggantikan posisi kalifah. Selanjutnya kabilah kecil yang sudah menjadi khalifah itu terus menerus memperoleh kemenangan dan memperluas wilayahnya. Sampai periode abad ke-18, kejayaan kekhalifahan itu berangsur-angsur memudar. Kejatuhan khalifah Islam itu sendiri tidak lepas dari usaha-usaha konspirasi Barat/Eropa. Berbagai cara dilakukan oleh Barat untuk menghancurkan kekhalifahan, termasuk salah satunya adalah kehadiran Mustafa Kemal Pasha, agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika sebagai “pahlawan” Turki yang selanjutnya menjadi Presiden Pertama Turki.

Pihak Barat sering salah dalam melakukan analisis terhadap kekhalifahan Tuki ini. Segala kekurangan kekhalifahan seperti “diktatorisme” yang sempat terjadi di tahun 1895-1898 dan 1914-1918 langsung diarahkan kepada sistem Islam. Padahal perlu diingat, setidaknya ada 2 faktor yang mempengaruhi kekurangan itu, seperti buruknya pemahaman Islam dan kesalahan penerapan Islam. Kedua factor itupun merupakan efek konspirasi dari Barat. Jadi saat “pembantaian” ratusan ribu orang di tahun 1895-1898 dan 1914-1918 dijadikan alasan bahwa Islam itu kejam, tidak pada tempatnya. Hasil analisis dari salah satu peserta forum myquran menyatakan, “Perintah pembantaian itu tidak berasal dari Khalifah Muhammad V. Saat itu yg berkuasa/kepala pemerintahan di Turki adalah gerakan Turki muda. Khalifah Muhammad V hanya sebagai kepala negara saja. Saat itu Khilafah Islam masih berdiri, tetapi hanya nama saja. Roda pemerintahannya dijalankan oleh orang-orang Turki muda, tingkah polahnya mengatas namakan Khilafah Islam.”

Islam adalah syariat, yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan agama lain, yang memang “sebaiknya” dipisahkan dengan urusan duniawi, mengingat adanya pengakuisisian nilai-nilai agama oleh para ahli agamanya. Islam yang komprehensif itu justru membuat penataan kehidupan manusia lebih baik. Dari urusan ibadah, social, politik, budaya, bahkan sampai urusan pribadi manusia semua diatur oleh hukum Islam yang otentik.

Wacana sekulerisasi di Turki terkesan “aneh dan lucu” di tengah gencarnya arus demokrasi. Ditambah lagi dengan perilaku “diktator” militer dan birokrat pemerintahannya yang memaksakan pelaksanaan sekulerisasi itu. Usulan Turki menjadi bagian dari Uni Eropa pun sebaiknya ditinjau ulang. Bukan karena Islamnya Turki, tetapi justru karena tidak demokratisnya Turki.

Contohlah Indonesia yang sudah “berpengalaman” dengan perbedaan agama. Indonesia tidak melarang agama dari kehidupan kenegaraan dan masyarakat, tetapi justru mengatur hak umat beragama. Seperti yang tercantum pada Pasal 29 (2) UUD 1945, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu", penjelasannya bahwa negara adalah pihak yang diikat oleh pasal tersebut. Negara harus memberi jaminan kebebasan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, bukan malah membatasi rakyatnya dalam menjalankan syariat agama.

Sekulerisasi di Turki tetap bertahan, terlepas dari keadaan mayoritas penduduknya yang menganut agama Islam. Realita keberhasilan pemimpin Turki seperti Erbakan dan Erdogan, yang notabene berasal dari “Islam bukan sekuler” tidak menjadi pertimbangan matang. Militer dan birokrat Turki seolah buta terhadap realita itu, justru mereka menunjukkan perilaku fanatik sempit terhadap asas Sekuler. Kalau melihat dari hak-hak masyarakat pun, pemimpin Islam tadi tidak pernah mencederainya. Jauh berbeda dengan anggapan bahwa saat sistem Islam yang berlaku di Turki, kediktatoran dan penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi. Jadi tidak ada alasan lagi seharusnya untuk semua rakyat Turki tak terkecuali, saat tetap memelihara ketakutan dan kekhawatiran itu. Apalagi terbukti dengan jumlah suara 34,1 persen yang diperoleh Partai Keadilan Pembangunan (AKP: Adalet ve Kalkinma Partisi) pada pemilu 3 November 2002 lalu, bukanlah sebuah kebetulan.

Krisis politik yang terjadi di Turki sekarang merupakan cerminan ketidaksehatan demokrasi. Tindakan pihak oposisi yang “memboikot” seperti menikam keberhasilan pihak Islam dari belakang. Semoga saja krisis ini tidak semakin diperburuk dengan penggunaan kewenangan militer yang tidak semestinya. Turki adalah sebuah cerminan saat demokrasi disalahartikan. Pihak “pengusung” demokrasi itupun semakin terbuka boroknya, mereka hanya menginginkan demokrasi sama dengan Anti Islam.

Sabtu, 03 Maret 2007

SUTET, sebuah Pengorbanan untuk Kepentingan Bangsa

(oleh : Arief Rakhman Prasetyo )

Kebutuhan terhadap tenaga listrik semakin hari semakin meningkat. Tentu saja harus diikuti dengan penambahan jumlah sarana transmisi (penyaluran) dan sarana distribusi (pembagian) listrik. SUTET adalah singkatan dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dengan kekuatan 500 kV yang ditujukan untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat pembangkit yang jaraknya jauh menuju pusat-pusat beban (gardu-gardu induk) sehingga energi listrik bisa disalurkan dengan efisien. Kemudian ada lagi SUTT (Saluran Udara Tegangan Tinggi) yang kapasitasnya di bawah SUTET, yang fungsinya juga menyalurkan energi listrik dari pusat pembangkit menuju pusat beban. Kalau kita melewati jalan raya, di tepi jalan akan terlihat tiang-tiang listrik Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dengan kekuatan 20 kV. Sedangkan di tepi jalan-jalan desa, akan terlihat tiang-tiang listrik Saluran Rumah (SR) yang lebih kecil dari JTM dengan kapasitas 220 V. Untuk mendistribusikan listrik ke masyarakat memerlukan semua jaringan itu, dari SUTET, JTM, hingga SR. Jika salah satu bagian saja hilang, maka distribusi listrik akan berjalan tidak seimbang. Tentu saja, masyarakat hanya bisa mengeluh dan menyalahkan pemerintah (PLN).

Berbagai macam kekhawatiran muncul akan dampak SUTET terhadap kesehatan bagi penduduk yang tinggal di wilayah yang dilewati jalur SUTET. Sebuah penelitian pertama kali dilakukan oleh Wertheimer dan Leper pada tahun 1979 yang menemukan adanya pengaruh medan elektromagnetik yang bisa menyebabkan kanker otak pada anak. Perlu diketahui bahwa setiap aliran listrik pasti menimbulkan medan magnet di sekeliling penghantar. Namun, besarnya berbeda-beda tergantung pada jarak terhadap penghantar dan besarnya arus listrik yang mengalir. Semakin dekat jaraknya, dan semakin besar arusnya tentu saja semakin besar medan magnet yang terpanjar. Jika kita amati, pada SUTET yang berkapasitas 500 kV, arus yang mengalir sangatlah besar, dan tentu saja medan magnet yang terpanjar sangat besar pula. Hal inilah, yang menurut Wertheimer dan Leper, beresiko menimbulkan kanker otak pada anak.

Akan tetapi, penelitian tidak berhenti sampai di situ saja. Sejak penelitian tersebut, berbagai studi epidemiologi dan laboratorium lainnya dilakukan sebagai replikasi dan eskpansi penelitian Wertheimer di berbagai negara. Namun hasil yang didapat justru beragam, bahkan sebagian besar bersifat kontradiktif. Dilaporkan, studi Feyching dan Ahlboum, 1993, meta analisisnya merupakan penelitian yang mendukung hasil Wertheimer, sedangkan studi National Cancer Institute (NCI) tahun 1997 di Amerika Serikat, studi Kanada 1999, studi Inggris 1999-2000 dan studi Selandia Baru menemukan hasil yang tidak mendukung Wertheimer.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Gerald Draper dan koleganya dari Chilhood Cancer Research Group di Oxford University dan Dr. John Swanson, penasehat sains di National Grid Transco, menemukan bahwa anak-anak yang tinggal kurang dari 200 meter dari jalur tegangan tinggi, saat dilahirkan memiliki resiko menderita leukimia sebesar 70 persen daripada yang tinggal dari jarak 600 meter atau lebih. Ditemukan lima kali lipat lebih besar kasus leukimia pada bayi yang dilahirkan di daerah sekitar SUTET atau sebesar 400 dalam setahun dari 1 persen jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Secara keseluruhan, anak-anak yang hidupnya dalam radius 200 meter dari tiang tegangan tinggi sekitar 70 persen diantaranya terkena leukimia dan yang hidup antara 200-600 meter sekitar 20 persen dibandingkan dengan yang tinggal lebih dari 600 meter. Walaupun demikian, peningkatan resiko leukemia masih ditemukan pada jarak dimana besar medan listrik bernilai di bawah kondisi di dalam rumah, sehingga disimpulkan bahwa peningkatan resiko leukemia tidak diakibatkan oleh medan listrik atau medan magnet yang diakibatkan oleh SUTET

Berdasarkan hasil penelitian Dr. dr. Anies, M.Kes. PKK, pada penduduk di bawah SUTET 500 kV di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Tegal (2004) menunjukkan bahwa besar risiko electrical sensitivity pada penduduk yang bertempat tinggal di bawah SUTET 500 kV adalah 5,8 kali lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang tidak bertempat tinggal di bawah SUTET 500 kV. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pajanan medan elektromagnetik yang berasal dari SUTET 500 kV berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk, yaitu sekumpulan gejala hipersensitivitas yang dikenal dengan electrical sensitivity berupa keluhan sakit kepala (headache), pening (dizziness), dan keletihan menahun (chronic fatigue syndrome). Hasil penemuan Anies menyimpulkan bahwa ketiga gejala tersebut dapat dialami sekaligus oleh seseorang, sehingga penemuan baru ini diwacanakan sebagai "Trias Anies".

Corrie Wawolumaya dari Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pernah melakukan penelitian terhadap pemukiman di sekitar SUTET. Hasilnya tidak ditemukan hubungan antara kanker leukemia dan SUTET

John Moulder mencoba menarik kesimpulan dari ratusan penelitian tentang dampak SUTET terhadap kesehatan. Moulder menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat antara medan tegangan listrik dan kesehatan manusia (termasuk kanker). Walaupun demikian medan tegangan listrik belum bisa dibuktikan benar-benar aman. Selain itu disepakati juga bahwa jika ada bahaya kesehatan terhadap manusia, maka itu hanya terjadi pada sebagian kecil kelompok.

WHO berkesimpulan bahwa tidak banyak pengaruh yang ditimbulkan oleh medan listrik sampai 20 kV/m pada manusia dan medan listrik sampai 100 kV/m tidak mempengaruhi kesehatan hewan percobaan. Selain itu, percobaan beberapa sukarelawan pada medan magnet 5 mT hanya memiliki sedikit efek pada hasil uji klinis dan fisik.

Saat sebagian besar penelitian mengungkapkan tidak ada hubungan yang sangat erat antara medan elektromagnetik yang diakibatkan SUTET terhadap fisik manusia, apalagi dengan adanya standar penerapan SUTET dari WHO (yang diterapkan PLN/Pemerintah) yang meminimalisir kerugian yang berefek pada manusia, dan mengingat kebutuhan yang memang sangat penting untuk pendistribusian energi listrik ke semua pelosok negeri dengan kapasitas sesuai kebutuhan. Memang permasalahan yang masih serius adalah masalah biaya penggantian tanah yang digunakan untuk pengadaan jaringan SUTET yang masih di bawah standar. Lalu siapa yang salah ?

Ketika dana yang disiapkan pemerintah mungkin memang terbatas, sementara sebagian rakyat yang memiliki lahan SUTET memang benar-benar butuh uang pengganti tersebut. Yang salah adalah pihak-pihak yang memancing di air keruh, yang memanfaatkan momen ini untuk kepentingan dirinya sendiri, pihak-pihak yang sudah memahami bahwa pemerintah masih “banyak hutang” tetapi malah membebani pemerintah dengan perilaku korupsi terhadap biaya penggantian lahan untuk SUTET, pihak-pihak yang aji mumpung, menerapkan harga tanah yang berlebihan mumpung pemerintah tidak punya pilihan selain membeli tanah rakyat, dan pihak-pihak yang terlalu berlebihan dan terlalu berhati-hati tidak pada tempatnya dengan menganggap SUTET seolah-olah akan “membunuh” masyarakat atau bahkan pihak-pihak yang menyengaja kericuhan ini untuk menghancurkan pihak lain supaya kelompoknya mendapat keuntungan politik yang imbasnya juga untuk kepentingan dirinya sendiri.

Saat inilah, jiwa-jiwa nasionalisme rakyat diuji, apakah rakyat masih gemar memanfaatkan Negara untuk kepentingan pribadinya sendiri ataukah rakyat sudah benar-benar bisa “merakyat” dengan melancarkan program SUTET pemerintah ini. Tentunya pemerintah sebagai lembaga yang merepresentasikan bangsa, bukan pemerintah sebagai personal. Wallahu A’lam




Persembahan untuk Bangsa

Menulis, apapun akan menjadi pekerjaan mengasyikkan saat kita berpikir bahwa itu asyik. Namun, memang membutuhkan sebuah semangat dan tekad yang besar untuk kemudian membiasakannya. Seperti kata-kata rayuan seorang pengedar narkoba, ”tak ada salahnya mencoba”, sehingga harapannya kita bisa menjadi ketagihan terhadap yang kita coba tadi. Bahkan, menulis itu barangkali lebih dahsyat efeknya daripada sebuah pil harkotika. Karena disinilah kita bisa mengaktualisasikan segala emosi, potensi, dan apapun yang ingin kita tumpahkan dari diri kita. Sebuah kepuasan yang bisa jadi melupakan sejenak segala permasalahan bahkan bisa jadi kepuasan itu memutarbalikkan masalah menjadi sebuah pelecut semangat. Hari ini, entah untuk kesekian kalinya, kucoba lagi untuk memaksakan jari-jemari ini untuk menuliskan apapun, minimal melatih jari tangan ini untuk berolahraga ketik, sebuah olahraga yang jarang terpikirkan.

Tersebutlah di suatu negeri seorang anak yang secara fisik, kurang memadai, kulit hitam, pendek, meski tidak terlalu buruk rupa, namun kelemahan fisik itu terkadang membuatnya tidak percaya diri. Ada satu keunggulan yang tidak dipunya orang lain, yaitu kecerdasan otaknya. Sayangnya, tabiat manusia yang suka mengeluh dan kurang bisa mensyukuri karunia Allah, membuatnya seringkali tidak cukup puas walaupun prestasi akademik di sekolahnya sudah ditaklukkan. Dia terus saja mengejar segalanya, seolah seisi dunia ini hendak menjadi miliknya. Cerita di atas tampaknya sudah terlalu sering melintasi pikiran kita, entah karena kita yang mengalaminya atau karena kita sudah sering mendapatkan cerita seperti itu. Sebuah pemikiran yang sempit, karena tidak mungkin manusia bisa sempurna, menguasai segalanya. Bahkan, Bill Gates yang kaya pun, konon sudah bosan dengan kekayaannya. Memang anehnya manusia, seringkali tidak mudah percaya dengan perkataan atau nasehat orang lain sebelum dia mengalami sendiri. Selalu saja merasa kurang dengan pemberian Allah.

Sebenarnya amat disayangkan saat kita justru lebih sering berkonflik dengan diri sendiri seperti cerita diatas terkait hal-hal yang menurut saya sungguh sangat kecil jika dibanding permasalahan bangsa ini, yang benar-benar membutuhkan sebuah solusi konkret dari masing-masing kita. Bangsa ini sudah bosan dengan wacana, tetapi benar-benar menunggu aksi konkret anggota bangsa. Sebuah permasalahan yang kompleks bukanlah untuk dihindari atau bahkan semakin diperparah, tetapi untuk dicicil untuk digarap bersama, kalau tidak bisa secara cepat, secara perlahan pun tak mengapa. Asal solusi tidak berjalan mundur saja.

Sikap-sikap politisi negeri ini akhir-akhir ini benar-benar semakin menunjukkan kalau kita memang harus menunggu satu generasi berganti. Karena mereka sama sekali tidak menunjukkan semangat membangun bersama bangsa, saat mereka justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau bahkan konstituennya. Sikap-sikap yang tidak dewasa dari pejabat-pejabat kita, semakin membuat miris ibu pertiwi ini. Pejabat yang berzina cukuplah memberi bukti betapa rendahnya moral pejabat bangsa ini. Satu generasi bukanlah waktu yang lama untuk menunggu, karena sekarang kita sudah benar-benar berada di garda terdepan. Tunggu apa lagi, persiapkanlah bekal untuk segera menggantikan politisi-politisi busuk itu, yang tak ada bedanya dengan lintah darat.

Bersatu Membangun Bangsa

( oleh : Arief Rakhman Prasetyo )

Rentang waktu hampir dua minggu hingga 20 November 2006 menjadi bukti bahwa Bush telah menjadi “pemersatu” bangsa Indonesia saat demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah hampir mufakat menyatakan penolakan kedatangan dirinya di tanah air ini. Meskipun ada beberapa kelompok yang sempat menunjukkan kekuatannya sebagai kelompok pro-kedatangan Bush, hal ini sama sekali tidak signifikan dibanding berbagai gejolak kelompok-kelompok anti-kedatangan Bush. Bangsa ini butuh musuh bersama untuk menguji sejauh mana solidaritas antar sesama masyarakat. Tampaknya Bush telah menjadi sosok ”penjahat” dunia yang kedatangannya pun sangat tidak diharapkan. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama dari segenap elemen masyarakat Indonesia yang benar-benar sudah menyadari segala efek kebijakan Bush yang ”menyakiti” penduduk dunia.

Praktis semenjak Indonesia sudah benar-benar lepas dari belenggu penjajahan, bangsa ini seolah-olah benar-benar telah bebas dari cengkeraman musuh. Musuh bangsa yang ”abstrak” seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain-lain, belum cukup mampu menggugah semangat setiap warga negara untuk benar-benar berkorban demi bangsa. Justru masalah-masalah kecil yang ada di dalam negeri yang tidak tertangani, menjadi musuh bagi sebagian masyarakat. Seperti misalanya masalah SARA, otonomi daerah, dan lain-lain. Jadi bukannya musuh bersama, tetapi semangat saling bermusuhan yang timbul dan menjamur di negeri ini.

Dalam bukunya, Marwah Daud Ibrahim menuliskan bahwa sukses bangsa adalah akumulasi sukses individu. Tetapi, yang nyata-nyata kita saksikan justru sebaliknya, kegagalan bangsa adalah akumulasi kegagalan individu. Cara berpikir yang salah, seperti memaklumi kesalahan sepele karena berpikir hanya dirinya yang melakukan kesalahan, bahkan pemakluman itu menjadi kebiasaan. Hasilnya antara lain terjadi penyelundupan, penebangan liar, pemborosan energi, karena masing-masing orang berpikir sama, ”gak papa berbuat salah, toh cuma saya sendiri (atau toh cuma sedikit)”. Ironisnya lagi saat pejabat-pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan baik justru menyulap dirinya masing-masing menjadi panutan dalam keburukan. Penghamburan kas negara dengan studi banding (wisata) ke luar negeri, mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya dalam rapat alih-alih menyampaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya, elitisme dalam bersikap, dan sebagainya.

Apalagi sikap politis yang ditunjukkan oleh politisi-politisi negeri ini yang semakin menunjukkan egonya masing-masing, membuat negeri ini harus lama bersabar untuk segera bangkit. Kursi kekuasaan dengan mudahnya dibeli dengan segepok duit, tanpa melihat kredibilitas calon. Kekuasaan pun terkena imbas kapitalisme, siapa kaya dialah yang bisa menjadi pemimpin (gubernur, bupati, walikota, dan lain-lain), bahkan si kaya akan tetap kaya dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya. Sementara saat masyarakat bersikap sinis dan skeptis justru dianggap tidak menciptakan iklim kondusif untuk perbaikan bangsa. Sebenarnya siapa yang salah ? Di mata masyarakat banyak, yang salah adalah para pejabat yang ada di atas. Pandangan ini pun terlalu abstrak. Karena saat kita bertanya kepada pejabat-pejabat di atas, mereka pun menganggap kesalahan mereka adalah sebuah kewajaran, sebagai imbas dari sistem yang memberikan celah bagi kesalahan-kesalahan itu. Atau ada juga pejabat-pejabat yang menyalahkan oknum pejabat yang lain. Bahkan, parahnya ada juga yang menyalahkan rakyat karena budaya masyarakat yang tidak profesional, karena kesadaran dan semangat berubah ke arah lebih baik yang belum ada. Maling teriak maling.

Bangsa ini tidak akan maju saat tidak berani mengakui kesalahannya dan justru lebih suka menyalahkan orang lain atau bahkan mencari berbagai macam alibi/pembelaan. Masa lalu yang suram jangan terus kita jadikan bukti bahwa negeri ini sudah benar-benar rusak, apalagi sampai kita beranggapan bahwa tidak mungkin negeri ini menjadi negeri yang maju. Akan lebih bijak, jikalau setiap orang melaksanakan segala tanggung jawab sesuai porsinya dengan sebaik-baiknya, dengan sempurna. Marilah kita ubah paradigma kita, yang semula beranggapan ”hanya saya sendiri yang melaksanakan tanggung jawab dengan baik” menjadi ”hanya saya sendiri yang belum melaksanakan tanggung jawab dengan baik”. Saat kita bisa menyadari bersama bahwa sukses masing-masing individu kita memberi andil yang luar biasa bagi kesuksesan bangsa ini, Indonesia tak lama lagi menggantikan posisi negara adidaya dan superpower, Amerika Serikat. Semoga saat Indonesia menjadi negara adidaya, kedatangan Presidennya tidak dihadapi dengan demonstrasi penolakan besar-besaran tetapi justru disambut dengan senyuman rakyat yang dikunjunginya. Hidup Indonesiaku !


Dunia Paska Kampus

Gak terasa, sekarang sudah semester 6. Berarti 1 tahun lagi dah lulus. Terus mo kemana setelah lulus ? Yang paling jelas, mo NIKAH. Lha, trus anak-istri mo dikasih makan apa ? Berarti harus kerja dong ...

Koq aku sama sekali gak ada kekhawatiran MENGANGGUR. Aku dah cukup yakin dengan almamater Universitas Gadjah Mada-ku.

Yang menjadi masalah adalah profesi apa yang akan aku tekuni. Ada 3 macam, yang sampai detik ini benar-benar masih membingungkanku. Antara profesi dosen, teknokrat, dan wirausahawan.

Ketiganya ada kelebihan dan kekurangannya.

DOSEN
1. Relatif punya banyak waktu kosong
2. Pekerjaan lebih tenang
3. Penghasilan sangat standar

TEKNOKRAT
1. Bakal sibuk banget
2. Waktu habis untuk pekerjaan
3. Penghasilan sangat besar

WIRAUSAHA
Kalo sukses :
1. Banyak waktu kosong
2. santai
3. Penghasilan benar-benar tergantung usaha kita

Wah, pilih yang mana ya... Masalahnya aku gak punya bakat wirausaha kayaknya. Yah, moga waktu bisa mematangkan pikiranku untuk memilih mana yang lebih menarik.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger