Minggu, 09 November 2008

Reposisi Gerakan KAMMI

http://republika. co.id/koran/ 24/12403. html


*Rijalul Imam*
Pengurus KAMMI Pusat

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) akan menyelenggarakan
Muktamar keenam pada 4-9 November tahun ini. Momentum ini sangat tepat bagi
KAMMI untuk melakukan evaluasi pergerakannya yang telah menggenapkan usianya
bersama kelahiran 10 tahun usia reformasi.

Secara *de facto*, KAMMI telah berkontribusi dalam upaya mendesak perubahan
di belantika Nusantara pascareformasi ini. Meski demikian, setelah satu
dekade usianya, penting untuk melakukan evaluasi fundamental pergerakan yang
selama ini telah dikembangkan.

Evaluasi ini dianggap signifikan mengingat tantangan yang dihadapi gerakan
sosial kemahasiswaan dan bangsa Indonesia saat ini semakin kompleks dan
beragam. Tantangan itu semakin meluas baik dalam skala nasional maupun skala
global.

Secara nasional maupun global, kita hadir di era yang serbatidak terduga.
Peralihan dari era industri ke era informasi telah membawa konsekuensi logis
pada percepatan perubahan peradaban manusia, baik dalam hal penemuan sains
dan teknologi
, fakta politik dan ekonomi, perubahan budaya kemanusiaan,
hingga peralihan kutub peradaban dunia. Bahkan, dalam bidang sains sosial
politik telah banyak teori yang diyakini kuat mengalami jungkir balik.

Teori hubungan yang selalu *vis a vis*, semisal hubungan negara dan agama,
partai nasionalis dan partai agamis, sudah mengalami pembiasan. Begitu juga
nasib teori hubungan sosial politik santri, abangan, dan priyayi.

Masing-masing *term* yang sarat ideologis bahkan secara jujur dalam sejarah
diwarnai darah ini telah mengalami transformasi dari sekularisasi ke
desekularisasi. Fakta sosial yang berkembang saat ini mengalami perubahan
pola yang jelas sangat berbeda dengan 50 tahun sebelumnya. Dengan kata lain,
temuan-temuan ilmiah terbaru menemukan hari ini memasuki fase integralisme.

Perkembangan terakhir dengan jatuhnya kedigdayaan finansial AS serta merta
telah meruntuhkan teori-teori peradaban yang berkembang pada dua dekade
lalu. Teori Huntington mengenai *the class of civilization* tidak menjadi
kenyataan. Faktanya, Barat tidak jatuh oleh serangan peradaban lain,
melainkan ambruk oleh rayap dari dirinya sendiri, sebagaimana kedigdayaan
Nabi Sulaiman yang jatuh oleh rayap di tongkatnya.

Begitu juga prediksi Fukuyama mengenai akhir demokrasi ini akan dimenangkan
oleh kapitalisme nyatanya tidak terbukti secara empirik. Perkembangan
spiritualitas di Barat pun turut membalik teori piramida kebutuhan dasar
manusia (*basic needs*) Abraham Maslow. Danah Zohar dan Ian Marshall,
penulis buku *Spiritual Capital* membalik teori itu dengan temuan faktual
bahwa kebutuhan dasar manusia adalah makna (*meaning*) bukanlah kecukupan
fisiologis.

Perkembangan mutakhir ini mau tidak mau menuntut semua pihak untuk berani
menawarkan konsep baru dalam meretas peradaban ke depan. Begitu pula dengan
perjalanan Indonesia ke depan, dibutuhkan konsep baru yang berbeda dengan
bangunan teori-teori yang kini menjadi teori klasik.

Konsep baru ini harus didialektikan di lapangan baik dalam uji pemikiran
maupun dalam implementasi. Hal ini penting untuk menemukan realitas baru
dalam rangka membangun bangsa dan peradaban yang lebih mencerahkan.

Oleh karena itu, dalam konteks gerakan, penting bagi KAMMI untuk tidak
bergerak dalam pola yang tunggal, semisal bersifat *vis-a-vis*, melainkan
mengujicobakan dalam pola-pola yang lebih variatif dan menekankan bobot
intelektual.

Namun, ini bukan berarti meninggalkan karakter khasnya yang dikenal tegas
dalam bersikap. Sebagai organ yang memiliki visi kepemimpinan, sikap ini
harus terinternalisasi bersamaan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi basis
pijakannya. Ini karena tantangan kepemimpinan masa depan adalah perubahan,
kompleksitas, dan keragaman yang hanya dapat dilihat oleh kapasitas
pengetahuan.

*Multiposisi gerakan mahasiswa*
Perubahan-perubahan teoritis di atas tidak dapat diabaikan sebab merupakan
realitas tersendiri yang hidup menyertai persepsi mutakhir manusia pada abad
ini. Gerakan mahasiswa, termasuk KAMMI, juga dituntut lebih mematangkan
politik kontribusi.

Politik kontribusi menekankan aspek kontribusi nyata yang bisa diberikan
pada masyarakat dan perubahan kebijakan di level pemerintah. Artinya,
sebagai kekuatan perubahan, agenda perubahan tidak boleh berhenti pada level
menuntut, melainkan memberi.

Dalam konteks memberi inilah sebenarnya gerakan mahasiswa tengah membangun
fondasi bagi lanskap masa depan bangsa yang akan dipimpinnya kelak.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan harus melihat persoalan bangsa
ini dalam kerangka jangka panjang, bahwa ia hidup tidak semata untuk hari
ini melainkan untuk masa depan yang di usianya kelak adalah usia yang layak
memimpin.

Mahasiswa harus berani merebut masa kini dengan *setting* masa depan.
Idealismenya sebagai mahasiswa harus terejawantah dalam cita-citanya yang
terukur baik yang dapat dilakukan oleh dirinya maupun oleh masyarakat dan
negaranya sebagai ruang pengaruhnya.

Karena itu, mahasiswa harus melakukan rekayasa-rekayasa pergerakannya yang
akan berpengaruh pada arah perubahan yang lebih baik di masa yang akan
datang, baik dalam rekayasa politik, rekayasa sosial, maupun rekayasa
akademiknya. Konsekuensi logis dari hal ini, mau tidak mau gerakan mahasiswa
harus merekayasa dirinya dalam multiposisi, baik sebagai insan akademik
maupun kaum muda progresif.

Mahasiswa harus fleksibel agar dapat lebih berkontribusi pada perubahan
nyata di masyarakatnya. Mahasiswa harus intensif berdiskusi dengan banyak
tema dan memperdalamnya berbasis kompetensi keahliannya dengan banyak
kalangan.

*Narasi baru*
Setiap zaman memiliki jiwa zamannya (*zeit geist*), ujar almarhum
Kuntowijoyo. Jiwa zaman ini perlu diraba lebih mendalam dan ditinjau dari
berbagai sudut, baik dalam sudut makro, seperti kontinuitas dan
diskontinuitas sejarah peradaban dan realitas global kekinian, maupun sudut
mikro keindonesiaan dan kearifan lokal. Dalam hal ini kepekaan terhadap
medan perjuangan dan perubahan di dalamnya menjadi niscaya penting bagi
perumusan jiwa zaman yang tengah dihadapi.

Di samping itu, sebagai gerakan mahasiswa Islam (*harakah Islamiyah
thullabiyah* ), KAMMI harus selalu berpijak pada Alquran dan Sunah sebagai
referensi utamanya. Dalam hal ini KAMMI harus melakukan objektifikasi
nilai-nilai Islam dalam*public reason* (logika umum) yang dapat diterima
secara luas. Dalam koridor teks dan konteks inilah KAMMI dapat mengembangkan
pola-pola pergerakan yang lebih kreatif dan kontributif bagi solusi
persoalan bangsa yang dihadapi bersama dengan tidak meninggalkan karakter
gerakannya sebagai gerakan Islam rasional-progresif.

Citra KAMMI yang lebih melekat sebagai gerakan aksi (*the action group*)
harus bertransformasi diri menjadi citra referensi gerakan. Dalam hal ini,
KAMMI harus bertransformasi diri dari *agent of change* menjadi *director of
change*. Dari semata agen perubahan menjadi pengarah perubahan.

*Ikhtisar:*
- KAMMI turut bertanggung jawab atas arah perjalanan reformasi.
- Langkah tersebut perlu agar perubahan bangsa bisa ke arah yang jelas.

Jumat, 13 Juni 2008

Jaman gini masih pacaran ?

“Sudah punya pacar belum ?“ itu pertanyaan umum yang bakal dilontarkan kepada pemuda ataupun pemudi yang dianggap sudah memasuki masa subur secara biologis. Pacar diartikan lawan jenis yang memikat hati dan sesuai dengan pilihan pribadi, kemudian dalam berpacaran tersebut terdapat komitmen yang kedudukannya setingkat di bawah komitmen nikah.

Pacaran menjadi tren baru remaja di era millennium. Pacaran dilakukan sebagai fase mencari jodoh. Layaknya akan membeli barang, konsumen sebisa mungkin menguji kualitas barang tersebut. Pembelian barang dianalogikan dengan pernikahan. Sebuah keluarga yang diawali dengan pernikahan merupakan ikatan perjanjian yang kuat. Perjanjian yang meminta adanya konsekuensi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Pernikahan berkaitan dengan ikatan moral untuk saling bertanggung jawab dan berkontribusi.

Budaya Timur termasuk Indonesia di dalamnya sangat identik dengan budaya permisif. Terdapat pengaruh yang kuat dari norma agama terhadap peri kehidupan bermasyarakat. Hal yang menarik ketika berbicara mengenai pacaran saat dibenturkan dengan budaya timur tersebut.

Pada jaman mudanya kakek-nenek kita , masih erat adanya perjodohan oleh orangtua. Hubungan antara pria dan wanita dewasa sangat dibatasi. Bahkan hal ini dianggap kolot oleh pihak Barat. Pada jaman mudanya bapak-ibu kita, perjodohan sudah agak dikurangi. Pacaran mulai menjadi fenomena. Meskipun kuantitas dan kualitas pacarannya pun masih sangat terbatas.

Sementara hari ini pergaulan antara pria dan wanita semakin bebas. Sangat mudah ditemui pasangan muda-mudi menyendiri berduaan di tempat sepi, berjalan berduaan, saling berpegangan tangan, berpelukan, bahkan hingga saling bercumbu. Bahkan hari ini dengan semakin kuatnya peran media dalam masyarakat, budaya non timur tersebut merebak di hampir seluruh negeri. Tak terkecuali kota dan desa. Tak terbatas usia, dari orang dewasa hingga anak usia SD.

Seiring dengan semakin bebasnya pergaulan pria dan wanita, data di lapangan menunjukkan potensi terjadinya hubungan seks di luar nikah yang semakin tinggi. Bahkan menjamurnya video-video porno pelakunya didominasi oleh kalangan muda-mudi yang belum menikah. Ini terjadi karena kebutuhan saling mencintai termasuk saling memuaskan kebutuhan nafsu bisa didapat dengan liar. Secara logis kebutuhan seks bisa dipenuhi kapan saja dimana saja dan dengan siapa saja tanpa harus melalui syarat pernikahan.

Parahnya lagi, pacaran tidak terbatas pada usia muda yang belum menikah. Orang-orang yang sudah menikah pun banyak juga yang melakukan pacaran dengan orang lain. Jika batasan pacaran ialah hubungan antar lawan jenis di luar nikah, maka perselingkuhan pun tergolong kriteria pacaran. Hanya saja kuantitas perselingkuhan belum setinggi pacaran.

Media pun seolah dengan sengaja mendukung proyek imitasi budaya Barat ini. Acara-acara sinetron atau film bahkan menjadikan pacaran dan selingkuh sebagai bagian utama cerita. Media justru menampilkan nikmatnya pacaran dan perselingkuhan alih-alih mempersuasikan keburukan fenomena itu.

Perlu ada tindakan tegas dari segala elemen bangsa, terutama berawal dari unit terkecil yaitu keluarga. Sekali mentoleransi atau memaklumi perilaku ini sama saja mendukung merasuknya kejelekan-kejelekan budaya Barat pada bangsa kita. Selain adanya hukuman secara adat, kesusilaan, dan agama, kiranya perlu juga ada sanksi yang tegas, keras, dan berefek jera dari sudut hukum. Hubungan percintaan antar lawan jenis sebaiknya segera difasilitasi oleh pihak keluarga maupun pemerintah. Caranya dengan mempermudah proses pernikahan antar keduanya. Dengan pernikahan dini sekaligus secara tidak langsung akan menggiring generasi muda untuk selalu siap bertanggung jawab dan bersikap dewasa.

Para remaja identik dengan sifat emosional, punya rasa ingin tahu dan penasaran yang lebih, mulai ada keberminatan yang sampai pada level fanatik, mulai tertarik dengan lawan jenis, dan merupakan masa krisis dalam pencarian jati diri. Oleh karena itu, kelebihan semangat pada remaja tersebut harus bisa diarahkan dan difasilitasi ke jalan yang benar. Jika lingkungan justru dominan mendukung mereka ke arah yang salah maka tak heran arah itu pula yang akan diambil.

Pengalihan semangat yang baik bisa dalam hal minat terhadap sosial, agama, dan ilmu pengetahuan. Untuk itu perlu digalakkan banyak program sosial, agama, dan ilmu pengetahuan sebagai pengisi waktu-waktu mereka. Jika waktu para remaja tidak dialokasikan pada hal-hal bermanfaat maka pastilah waktu tersebut akan terbuang untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya kecil dan tidak penting. Kebanyakan remaja pacaran karena tidak ada kegiatan bermanfaat yang menyibukkannya.

Semakin banyak remaja yang menyibukkan diri dengan pacaran maka semakin mustahil bangsa ini akan mengalami perbaikan. Banyak sekali pemborosan yang ditimbulkan dari perilaku pacaran ini, diantaranya boros waktu, harta, tenaga, dan perasaan. Pemuda adalah pewaris bangsa, jangan sampai negeri ini bertahan menjadi bangsa bodoh karena tidak bisa mendayagunakan sumber daya yang ada.


Memposisikan Islam dan HAM semestinya

Islam itu agama, tentu seharusnya pengertiannya lebih luas daripada ideologi. Islam merupakan system nilai, asas, pedoman hidup, sumber keyakinan. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dari hal kecil seperti menyingkirkan duri hingga hal besar seperti menciptakan pemerintahan yang adil. Begitulah memposisikan Islam semestinya.

Akan tetapi aliran sekulerisme seringkali mendudukkan Islam sama dengan kedudukan agama lainnya yang hanya terbatas pada keyakinan pribadi. Atau lebih tepatnya memposisikan agama agar tidak mencampuri urusan dunia umatnya. Padahal sekali-kali tidak, karena memang Islam itu istimewa.

Islam ialah aturan yang sudah memiliki fondasi lengkap dan kuat agar umatnya juga mengurusi dunia. Dalam Islam tidak ada kebebasan penafsiran seperti apa yang dilakukan terhadap kitab-kitab Injil. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri adanya pemanfaatan Islam untuk kepentingan pribadi. Meskipun demikian, konfigurasi di dalam Islam sendiri masih mampu mengurangi kebebasan penafsiran yang terlalu berlebihan.

Hak asasi manusia (HAM) pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Meskipun banyak orang tidak mengakui adanya kesamaan tersebut. Bahkan cenderung memposisikan HAM sebagai antitesis agama.

Banyak analisis yang mengatakan bahwa sepanjang 2007 banyak terjadi kekerasan mengatasnamakan agama. Hal tersebut perlu benar-benar dikaji secara komprehensif. Yaitu dengan tidak menafikkan terhadap ajaran islam itu sendiri yang sudah menjadi kebenaran umum di kalangan pengikutnya. Merebaknya aliran Ahmadiyah, Salamullah, dan Al Qiyadah wal Jundiyah jika hanya dikaji dari satu sisi tentunya disimpulkan terjadinya pelanggaran HAM. Para pejuang HAM menganggap aliran-aliran tersebut adalah bentuk kebebasan dalam berkeyakinan.

Kalau dilihat dari nas-nas Quran maupun sumber hukum Islam lainnya, ada batasan-batasan suatu pendapat atau cara beragama yang masih diijinkan. Yaitu ketika masih berada dalam koridor hal-hal yang sifatnya ushul (prinsip). Sedangkan kebebasan yang ada hanya dalam wilayah furu’ (percabangan).

Koridor ushul bisa diartikan saat tidak ada perbedaan mencolok di kalangan ulama dan memang pun tidak memungkinkan dari sumber hukumnya sendiri untuk terjadi perbedaan tersebut. Berbeda halnya dalam wilayah furu’, yang banyak sekali terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Empat mazhab besar Islam merupakan salah satu buktinya. Hal ini bisa terjadi karena dari sumber hukumnya sendiri sangat memungkinkan terjadi perbedaan penafsiran.

Dalam hal ini, Ahmadiyah, Salamullah, dan Al Qiyadah wal Jundiyah didapati melanggar koridor ushul. Ahmadiyah dengan ajaran nabi barunya, padahal sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Salamullah dengan wahyu ala malaikat Jibrilnya, padahal juga sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa wahyu Allah yang disampaikan Jibril berakhir sampai Nabi Muhammad saja. Al Qiyadah wal Jundiyah dengan kalimat khusus syahadatnya, ini lebih jelas lagi mengangkangi dalil yang ada.

Sangat disayangkan saat pejuang HAM justru tidak menghargai keyakinan umat Islam itu sendiri. Kebanyakan kekerasan justru dilakukan ketika umat islam sudah melalui proses peringatan dan menasehati secara damai. Hal ini seperti yang diajarkan oleh Rasulullah agar terlebih dahulu memeriksa kebenaraan suatu berita serta agar menasehati orang lain dengan hikmah dan cara-cara yang baik.

Munculnya aliran-aliran yang menyimpang dari Islam tersebut seperti halnya kriminalitas dalam agama. Kriminalitas diartikan sebagai pelanggaran terhadap suatu aturan formal. Begitu pula aliran-aliran tersebut sama dengan melakukan pelanggaran terhadap nilai agama.

Sayangnya terjadi perbedaan perlakuan antara aturan secara umum dan agama. Aturan memang lebih materialistis, sedangkan agama dianggap sebagai hal yang khayal yang belum teruji kebenarannya secara material. Pandangan seperti ini merupakan cara berpikir kebanyakan masyarakat Barat yang materialistis. Sedangkan umat Islam justru yang pertama diajarkan tentang iman, yaitu percaya terhadap hal-hal gaib yang jelas-jelas tidak mampu dijangkau secara materi. Begitu pula halnya dengan kepercayaan atau cara berpikir kebanyakan orang Timur.

Barat berusaha merekayasa dunia dengan tiga hal, demokrasi, sekulerisme, dan HAM. Ketiga hal tersebut diperjuangkan untuk menjadi Tuhan-Tuhan baru di era sekarang. Jelas sekali terlihat bahwa ketiganya sampai berani melawan norma-norma lain, termasuk norma agama.

Untuk itu, sebagai bangsa yang beragama harusnya bisa memposisikan demokrasi, sekulerisme, dan HAM sebagaimana mestinya. Yaitu tidak sampai mendudukkannya sebagai Tuhan. Cukup menjadi referensi dalam memunculkan wacana-wacana baru. Tidak sampai mengalahkan prinsip yang kuat, padahal prinsip itu sama-sama sudah kita sepakati bersama. Silahkan Ahmadiyah, Salamullah, dan Al Qiyadah Al Islamiyah menjalankan keyakinannya asal jangan membawa-bawa nama Islam. Karena Islam sudah punya rambu-rambu yang jelas yang disepakati bersama. Begitu juga kalau memang pejuang-pejuang HAM berani, kenapa tidak mereka tinggalkan saja agama-agama mereka.








Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger