http://republika. co.id/koran/ 24/12403. html
*Rijalul Imam*
Pengurus KAMMI Pusat
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) akan menyelenggarakan
Muktamar keenam pada 4-9 November tahun ini. Momentum ini sangat tepat bagi
KAMMI untuk melakukan evaluasi pergerakannya yang telah menggenapkan usianya
bersama kelahiran 10 tahun usia reformasi.
Secara *de facto*, KAMMI telah berkontribusi dalam upaya mendesak perubahan
di belantika Nusantara pascareformasi ini. Meski demikian, setelah satu
dekade usianya, penting untuk melakukan evaluasi fundamental pergerakan yang
selama ini telah dikembangkan.
Evaluasi ini dianggap signifikan mengingat tantangan yang dihadapi gerakan
sosial kemahasiswaan dan bangsa Indonesia saat ini semakin kompleks dan
beragam. Tantangan itu semakin meluas baik dalam skala nasional maupun skala
global.
Secara nasional maupun global, kita hadir di era yang serbatidak terduga.
Peralihan dari era industri ke era informasi telah membawa konsekuensi logis
pada percepatan perubahan peradaban manusia, baik dalam hal penemuan sains
dan teknologi, fakta politik dan ekonomi, perubahan budaya kemanusiaan,
hingga peralihan kutub peradaban dunia. Bahkan, dalam bidang sains sosial
politik telah banyak teori yang diyakini kuat mengalami jungkir balik.
Teori hubungan yang selalu *vis a vis*, semisal hubungan negara dan agama,
partai nasionalis dan partai agamis, sudah mengalami pembiasan. Begitu juga
nasib teori hubungan sosial politik santri, abangan, dan priyayi.
Masing-masing *term* yang sarat ideologis bahkan secara jujur dalam sejarah
diwarnai darah ini telah mengalami transformasi dari sekularisasi ke
desekularisasi. Fakta sosial yang berkembang saat ini mengalami perubahan
pola yang jelas sangat berbeda dengan 50 tahun sebelumnya. Dengan kata lain,
temuan-temuan ilmiah terbaru menemukan hari ini memasuki fase integralisme.
Perkembangan terakhir dengan jatuhnya kedigdayaan finansial AS serta merta
telah meruntuhkan teori-teori peradaban yang berkembang pada dua dekade
lalu. Teori Huntington mengenai *the class of civilization* tidak menjadi
kenyataan. Faktanya, Barat tidak jatuh oleh serangan peradaban lain,
melainkan ambruk oleh rayap dari dirinya sendiri, sebagaimana kedigdayaan
Nabi Sulaiman yang jatuh oleh rayap di tongkatnya.
Begitu juga prediksi Fukuyama mengenai akhir demokrasi ini akan dimenangkan
oleh kapitalisme nyatanya tidak terbukti secara empirik. Perkembangan
spiritualitas di Barat pun turut membalik teori piramida kebutuhan dasar
manusia (*basic needs*) Abraham Maslow. Danah Zohar dan Ian Marshall,
penulis buku *Spiritual Capital* membalik teori itu dengan temuan faktual
bahwa kebutuhan dasar manusia adalah makna (*meaning*) bukanlah kecukupan
fisiologis.
Perkembangan mutakhir ini mau tidak mau menuntut semua pihak untuk berani
menawarkan konsep baru dalam meretas peradaban ke depan. Begitu pula dengan
perjalanan Indonesia ke depan, dibutuhkan konsep baru yang berbeda dengan
bangunan teori-teori yang kini menjadi teori klasik.
Konsep baru ini harus didialektikan di lapangan baik dalam uji pemikiran
maupun dalam implementasi. Hal ini penting untuk menemukan realitas baru
dalam rangka membangun bangsa dan peradaban yang lebih mencerahkan.
Oleh karena itu, dalam konteks gerakan, penting bagi KAMMI untuk tidak
bergerak dalam pola yang tunggal, semisal bersifat *vis-a-vis*, melainkan
mengujicobakan dalam pola-pola yang lebih variatif dan menekankan bobot
intelektual.
Namun, ini bukan berarti meninggalkan karakter khasnya yang dikenal tegas
dalam bersikap. Sebagai organ yang memiliki visi kepemimpinan, sikap ini
harus terinternalisasi bersamaan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi basis
pijakannya. Ini karena tantangan kepemimpinan masa depan adalah perubahan,
kompleksitas, dan keragaman yang hanya dapat dilihat oleh kapasitas
pengetahuan.
*Multiposisi gerakan mahasiswa*
Perubahan-perubahan teoritis di atas tidak dapat diabaikan sebab merupakan
realitas tersendiri yang hidup menyertai persepsi mutakhir manusia pada abad
ini. Gerakan mahasiswa, termasuk KAMMI, juga dituntut lebih mematangkan
politik kontribusi.
Politik kontribusi menekankan aspek kontribusi nyata yang bisa diberikan
pada masyarakat dan perubahan kebijakan di level pemerintah. Artinya,
sebagai kekuatan perubahan, agenda perubahan tidak boleh berhenti pada level
menuntut, melainkan memberi.
Dalam konteks memberi inilah sebenarnya gerakan mahasiswa tengah membangun
fondasi bagi lanskap masa depan bangsa yang akan dipimpinnya kelak.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan harus melihat persoalan bangsa
ini dalam kerangka jangka panjang, bahwa ia hidup tidak semata untuk hari
ini melainkan untuk masa depan yang di usianya kelak adalah usia yang layak
memimpin.
Mahasiswa harus berani merebut masa kini dengan *setting* masa depan.
Idealismenya sebagai mahasiswa harus terejawantah dalam cita-citanya yang
terukur baik yang dapat dilakukan oleh dirinya maupun oleh masyarakat dan
negaranya sebagai ruang pengaruhnya.
Karena itu, mahasiswa harus melakukan rekayasa-rekayasa pergerakannya yang
akan berpengaruh pada arah perubahan yang lebih baik di masa yang akan
datang, baik dalam rekayasa politik, rekayasa sosial, maupun rekayasa
akademiknya. Konsekuensi logis dari hal ini, mau tidak mau gerakan mahasiswa
harus merekayasa dirinya dalam multiposisi, baik sebagai insan akademik
maupun kaum muda progresif.
Mahasiswa harus fleksibel agar dapat lebih berkontribusi pada perubahan
nyata di masyarakatnya. Mahasiswa harus intensif berdiskusi dengan banyak
tema dan memperdalamnya berbasis kompetensi keahliannya dengan banyak
kalangan.
*Narasi baru*
Setiap zaman memiliki jiwa zamannya (*zeit geist*), ujar almarhum
Kuntowijoyo. Jiwa zaman ini perlu diraba lebih mendalam dan ditinjau dari
berbagai sudut, baik dalam sudut makro, seperti kontinuitas dan
diskontinuitas sejarah peradaban dan realitas global kekinian, maupun sudut
mikro keindonesiaan dan kearifan lokal. Dalam hal ini kepekaan terhadap
medan perjuangan dan perubahan di dalamnya menjadi niscaya penting bagi
perumusan jiwa zaman yang tengah dihadapi.
Di samping itu, sebagai gerakan mahasiswa Islam (*harakah Islamiyah
thullabiyah* ), KAMMI harus selalu berpijak pada Alquran dan Sunah sebagai
referensi utamanya. Dalam hal ini KAMMI harus melakukan objektifikasi
nilai-nilai Islam dalam*public reason* (logika umum) yang dapat diterima
secara luas. Dalam koridor teks dan konteks inilah KAMMI dapat mengembangkan
pola-pola pergerakan yang lebih kreatif dan kontributif bagi solusi
persoalan bangsa yang dihadapi bersama dengan tidak meninggalkan karakter
gerakannya sebagai gerakan Islam rasional-progresif.
Citra KAMMI yang lebih melekat sebagai gerakan aksi (*the action group*)
harus bertransformasi diri menjadi citra referensi gerakan. Dalam hal ini,
KAMMI harus bertransformasi diri dari *agent of change* menjadi *director of
change*. Dari semata agen perubahan menjadi pengarah perubahan.
*Ikhtisar:*
- KAMMI turut bertanggung jawab atas arah perjalanan reformasi.
- Langkah tersebut perlu agar perubahan bangsa bisa ke arah yang jelas.
0 komentar:
Posting Komentar