( oleh : Arief Rakhman Prasetyo )
Rentang waktu hampir dua minggu hingga 20 November 2006 menjadi bukti bahwa Bush telah menjadi “pemersatu” bangsa Indonesia saat demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah hampir mufakat menyatakan penolakan kedatangan dirinya di tanah air ini. Meskipun ada beberapa kelompok yang sempat menunjukkan kekuatannya sebagai kelompok pro-kedatangan Bush, hal ini sama sekali tidak signifikan dibanding berbagai gejolak kelompok-kelompok anti-kedatangan Bush. Bangsa ini butuh musuh bersama untuk menguji sejauh mana solidaritas antar sesama masyarakat. Tampaknya Bush telah menjadi sosok ”penjahat” dunia yang kedatangannya pun sangat tidak diharapkan. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama dari segenap elemen masyarakat Indonesia yang benar-benar sudah menyadari segala efek kebijakan Bush yang ”menyakiti” penduduk dunia.
Praktis semenjak Indonesia sudah benar-benar lepas dari belenggu penjajahan, bangsa ini seolah-olah benar-benar telah bebas dari cengkeraman musuh. Musuh bangsa yang ”abstrak” seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain-lain, belum cukup mampu menggugah semangat setiap warga negara untuk benar-benar berkorban demi bangsa. Justru masalah-masalah kecil yang ada di dalam negeri yang tidak tertangani, menjadi musuh bagi sebagian masyarakat. Seperti misalanya masalah SARA, otonomi daerah, dan lain-lain. Jadi bukannya musuh bersama, tetapi semangat saling bermusuhan yang timbul dan menjamur di negeri ini.
Dalam bukunya, Marwah Daud Ibrahim menuliskan bahwa sukses bangsa adalah akumulasi sukses individu. Tetapi, yang nyata-nyata kita saksikan justru sebaliknya, kegagalan bangsa adalah akumulasi kegagalan individu. Cara berpikir yang salah, seperti memaklumi kesalahan sepele karena berpikir hanya dirinya yang melakukan kesalahan, bahkan pemakluman itu menjadi kebiasaan. Hasilnya antara lain terjadi penyelundupan, penebangan liar, pemborosan energi, karena masing-masing orang berpikir sama, ”gak papa berbuat salah, toh cuma saya sendiri (atau toh cuma sedikit)”. Ironisnya lagi saat pejabat-pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan baik justru menyulap dirinya masing-masing menjadi panutan dalam keburukan. Penghamburan kas negara dengan studi banding (wisata) ke luar negeri, mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya dalam rapat alih-alih menyampaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya, elitisme dalam bersikap, dan sebagainya.
Apalagi sikap politis yang ditunjukkan oleh politisi-politisi negeri ini yang semakin menunjukkan egonya masing-masing, membuat negeri ini harus lama bersabar untuk segera bangkit. Kursi kekuasaan dengan mudahnya dibeli dengan segepok duit, tanpa melihat kredibilitas calon. Kekuasaan pun terkena imbas kapitalisme, siapa kaya dialah yang bisa menjadi pemimpin (gubernur, bupati, walikota, dan lain-lain), bahkan si kaya akan tetap kaya dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya. Sementara saat masyarakat bersikap sinis dan skeptis justru dianggap tidak menciptakan iklim kondusif untuk perbaikan bangsa. Sebenarnya siapa yang salah ? Di mata masyarakat banyak, yang salah adalah para pejabat yang ada di atas. Pandangan ini pun terlalu abstrak. Karena saat kita bertanya kepada pejabat-pejabat di atas, mereka pun menganggap kesalahan mereka adalah sebuah kewajaran, sebagai imbas dari sistem yang memberikan celah bagi kesalahan-kesalahan itu. Atau ada juga pejabat-pejabat yang menyalahkan oknum pejabat yang lain. Bahkan, parahnya ada juga yang menyalahkan rakyat karena budaya masyarakat yang tidak profesional, karena kesadaran dan semangat berubah ke arah lebih baik yang belum ada. Maling teriak maling.
Bangsa ini tidak akan maju saat tidak berani mengakui kesalahannya dan justru lebih suka menyalahkan orang lain atau bahkan mencari berbagai macam alibi/pembelaan. Masa lalu yang suram jangan terus kita jadikan bukti bahwa negeri ini sudah benar-benar rusak, apalagi sampai kita beranggapan bahwa tidak mungkin negeri ini menjadi negeri yang maju. Akan lebih bijak, jikalau setiap orang melaksanakan segala tanggung jawab sesuai porsinya dengan sebaik-baiknya, dengan sempurna. Marilah kita ubah paradigma kita, yang semula beranggapan ”hanya saya sendiri yang melaksanakan tanggung jawab dengan baik” menjadi ”hanya saya sendiri yang belum melaksanakan tanggung jawab dengan baik”. Saat kita bisa menyadari bersama bahwa sukses masing-masing individu kita memberi andil yang luar biasa bagi kesuksesan bangsa ini, Indonesia tak lama lagi menggantikan posisi negara adidaya dan superpower, Amerika Serikat. Semoga saat Indonesia menjadi negara adidaya, kedatangan Presidennya tidak dihadapi dengan demonstrasi penolakan besar-besaran tetapi justru disambut dengan senyuman rakyat yang dikunjunginya. Hidup Indonesiaku !
0 komentar:
Posting Komentar