Permasalahan awet yang melanda bangsa ini salah satunya adalah masalah kelistrikan. Padahal di jaman modern, keberadaan listrik sudah menjadi keharusan. Keberlangsungan masalah itu bukan berarti pemerintah yang pasif. Akan tetapi, masih ada pergolakan yang menyebabkan proses penyelesain masalah itu sendiri tertunda. Pro dan kontra seputar kebijakan-kebijakan ketenagalistrikan masih terus bergulir, seolah tidak ada ramuan yang paling ideal untuk segala pihak. Akhirnya, ketenagalistrikan nasional berjalan di tempat, kalau tidak mau disebut mundur perlahan-lahan.
Gerakan hemat energi yang gagal
“Hemat energi, hemat biaya !”, mungkin itu salah satu bunyi iklan yang sering kita dengar. Sayangnya, imbauan ini tidak berimbas banyak kepada masyarakat. Perlu sosialisasi lebih lanjut untuk membangun kesadaran bersama bahwa energy listrik adalah milik kita bersama, tidak hanya milik personal. Saat hemat energy berarti hemat biaya, ini berarti saat masyarakat mampu membayar listrik yang mahal, mereka bebas menggunakan listrik seenaknya. Makanya, perlu dibangun lagi kesadaran bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami kelistrikan nasional. Mulai dari pembuatan listrik yang butuh banyak sumber energy sampai masalah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk setiap kilo watt yang digunakan masyarakat. Kepahaman masyarakat pun belum menyeluruh terkait cara-cara penghematan listrik. Masih banyak penggunaan peralatan listrik yang berdaya lebih dari kewajaran. Ada pula budaya mengecilkan sesuatu, dengan menganggap pemborosan yang dilakukan sendiri tidak berpengaruh apa-apa dibanding total beban listrik nasional. Jika berguru ke Jepang, masyarakat Indonesia sangat jauh dari budaya hemat. Masyarakat Jepang biasa mematikan lampu saat malam hari, menggunakan sepeda atau angkutan umum dalam perjalanannya, menggunakan peralatan-peralatan elektronik yang berdaya rendah, bahkan hingga tidak menganggap label modern identik dengan boros energy. Budaya hemat di negeri ini hanya menjadi bagian dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Masih ada yang belum menikmati listrik
Dari keseluruhan desa di Indonesia, masih ada sekitar 11% yang belum mendapat pasokan listrik. Memang kendala terbesarnya adalah keadaan geografis. Jika ini didiamkan saja, berarti pemerintah mendiskriminasikan daerah terpencil dalam alur pembangunan nasional. Perlu penelitian lebih lanjut untuk merumuskan cara mengusahakan listrik di daerah-daerah, selain dengan cara membuka jalur pentransmisian baru. Mengingat kondisi lapangan yang tidak lagi memungkinkan. Bisa jadi dengan memanfaatkan potensi local daerah tersebut. Ditambah lagi dengan prosedur pemasangan listrik yang kompleks di beberapa daerah. Setelah itu, yang juga perlu diperhatikan bahwa masyarakat kecil jangan sampai terkurangi aksesnya untuk memperoleh listrik hanya karena alasan ekonomi. Listrik adalah hajat hidup orang banyak, tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena jaman sekarang, tanpa listrik yang ada hanya kekolotan dan tradisionalisme. Memang pihak penyedia listrik Negara tidak bisa memungkiri telah mengecilkan perhatian terhadap kelistrikan di daerah-daerah terpencil.
Listrik yang mahal
Jenis pembangkit listrik terbanyak sampai sejauh ini masih berupa pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Pada tahun 2004 saja, dari 5.123 pembangkit yang ada, 4.776 diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga diesel. Kebanyakan dari diesel itu menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM semakin lama semakin mahal sehingga berimbas ke harga listrik itu sendiri. Sementara kas Negara tidak bisa mengikuti kenaikan harga BBM itu, subsidi pemerintah pun berkurang. Langkah yang paling memungkinkan adalah dengan menaikkan tarif dasar listrik. Subsidi pemerintah terhadap BBM hendaknya diupayakan lebih tepat sasaran. Selama ini, subsidi itu diberikan sama rata kepada seluruh rakyat. Padahal untuk lebih mengefektifkan anggaran, pemerintah bisa saja lebih mengutamakan rakyat kecil. Maksudnya, masyarakat dari golongan ekonomi menegah ke atas dibebani biaya tanpa subsidi. Sedangkan, alokasi subsidi itu nantinya dapat dialihkan untuk pos penting lainnya. Toh, sebetulnya yang paling banyak mengonsumsi BBM justru dari kalangan menengah ke atas. Belum lagi adanya permasalahan klasik dalam hal rugi-rugi daya atau masalah-masalah teknis lainnya yang belum dapat terselesaikan tuntas. Padahal sudah banyak lulusan teknik elektro yang seharusnya bisa dikaryakan untuk mengatasi masalah teknis seperti itu. Tak dapat dipungkiri pula, masih adanya penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan sehingga masyarakat menjadi korban “kekurangan” dana kelistrikan tersebut.
Energi alternative
Penelitian telah membuktikan bahwa diantaranya tanaman jagung,ketela, jarak pagar dan sawit dapat menghasilkan minyak. Harga minyak nabati itu jauh lebih murah dibanding harga minyak bumi. Akan tetapi, banyak sekali kendala dalam pengadaannya. Pemerintah tidak punya inisiatif untuk memfasilitasi penelitian dan pengadaan minyak nabati tersebut. Belum lagi saat pembukaan lahan untuk perkebunan tanaman-tanaman tersebut, menyisakan luka ekologis. Seperti mempersempit habitat spesies-spesies hutan, mengganggu keseimbangan alam, dan mengurangi keanekaragaman hayati. Ditambah lagi anggapan bahwa pemanfaatan minyak nabati, khususnya dari jagung dan ketela, akan memunculkan krisis pangan. Di sisi lain, energy alternative nuklir juga tidak luput dari pro dan kontra. Energi yang sampai saat ini masih menjadi sumber energy paling murah dan efektif, masih juga menimbulkan kekhawatiran terkait keamanannya. Tidak ada kepercayaan penuh kepada pemerintah Justru kebijakan yang diambil pemerintah (Perpres No.71/2006) adalah membangun pembangkit tenaga listrik tenaga uap berbahan-bakar batu bara. Asumsinya cadangan batu bara masih melimpah dengan kemungkinan baru akan habis sampai 100 tahun ke depan.
Pemerintah harus tegas dalam menghadapi pro dan kontra seputar ketenagalistrikan tersebut. Setidaknya pemerintah mempunyai kuasa untuk memilih dan harus mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Iran sudah berdiri paling depan di barisan Negara berteknlogi nuklir, India Berjaya di bidang informatika, sementara Indonesia masih saja berkutat dalam perdebatan panjang tentang perlu tidaknya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan lainnya. Permasalahan listrik sekarang tidak hanya berimbas kepada generasi ini, tetapi juga berimbas sampai generasi beratus-ratus tahun berikutnya. Bisa jadi, pada masa mendatang Indonesia harus membeli energy dari Negara lain karena cadangan energi yang tidak terkontrol penggunaannya di era sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar