Senin, 04 Juni 2007

Kasus Turki, Demokrasi = Anti Islam

Turki memiliki sejarah panjang dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan Islam. Sekitar pertengahan abad ke-13, Turki masih berupa kabilah kecil yang dipimpin oleh Erthogul. Sampai kemudian, seiring jatuhnya Kesultanan Seljuk oleh Mongol, kabilah kecil itu bisa memanfaatkan peluang untuk menggantikan posisi kalifah. Selanjutnya kabilah kecil yang sudah menjadi khalifah itu terus menerus memperoleh kemenangan dan memperluas wilayahnya. Sampai periode abad ke-18, kejayaan kekhalifahan itu berangsur-angsur memudar. Kejatuhan khalifah Islam itu sendiri tidak lepas dari usaha-usaha konspirasi Barat/Eropa. Berbagai cara dilakukan oleh Barat untuk menghancurkan kekhalifahan, termasuk salah satunya adalah kehadiran Mustafa Kemal Pasha, agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika sebagai “pahlawan” Turki yang selanjutnya menjadi Presiden Pertama Turki.

Pihak Barat sering salah dalam melakukan analisis terhadap kekhalifahan Tuki ini. Segala kekurangan kekhalifahan seperti “diktatorisme” yang sempat terjadi di tahun 1895-1898 dan 1914-1918 langsung diarahkan kepada sistem Islam. Padahal perlu diingat, setidaknya ada 2 faktor yang mempengaruhi kekurangan itu, seperti buruknya pemahaman Islam dan kesalahan penerapan Islam. Kedua factor itupun merupakan efek konspirasi dari Barat. Jadi saat “pembantaian” ratusan ribu orang di tahun 1895-1898 dan 1914-1918 dijadikan alasan bahwa Islam itu kejam, tidak pada tempatnya. Hasil analisis dari salah satu peserta forum myquran menyatakan, “Perintah pembantaian itu tidak berasal dari Khalifah Muhammad V. Saat itu yg berkuasa/kepala pemerintahan di Turki adalah gerakan Turki muda. Khalifah Muhammad V hanya sebagai kepala negara saja. Saat itu Khilafah Islam masih berdiri, tetapi hanya nama saja. Roda pemerintahannya dijalankan oleh orang-orang Turki muda, tingkah polahnya mengatas namakan Khilafah Islam.”

Islam adalah syariat, yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan agama lain, yang memang “sebaiknya” dipisahkan dengan urusan duniawi, mengingat adanya pengakuisisian nilai-nilai agama oleh para ahli agamanya. Islam yang komprehensif itu justru membuat penataan kehidupan manusia lebih baik. Dari urusan ibadah, social, politik, budaya, bahkan sampai urusan pribadi manusia semua diatur oleh hukum Islam yang otentik.

Wacana sekulerisasi di Turki terkesan “aneh dan lucu” di tengah gencarnya arus demokrasi. Ditambah lagi dengan perilaku “diktator” militer dan birokrat pemerintahannya yang memaksakan pelaksanaan sekulerisasi itu. Usulan Turki menjadi bagian dari Uni Eropa pun sebaiknya ditinjau ulang. Bukan karena Islamnya Turki, tetapi justru karena tidak demokratisnya Turki.

Contohlah Indonesia yang sudah “berpengalaman” dengan perbedaan agama. Indonesia tidak melarang agama dari kehidupan kenegaraan dan masyarakat, tetapi justru mengatur hak umat beragama. Seperti yang tercantum pada Pasal 29 (2) UUD 1945, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu", penjelasannya bahwa negara adalah pihak yang diikat oleh pasal tersebut. Negara harus memberi jaminan kebebasan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, bukan malah membatasi rakyatnya dalam menjalankan syariat agama.

Sekulerisasi di Turki tetap bertahan, terlepas dari keadaan mayoritas penduduknya yang menganut agama Islam. Realita keberhasilan pemimpin Turki seperti Erbakan dan Erdogan, yang notabene berasal dari “Islam bukan sekuler” tidak menjadi pertimbangan matang. Militer dan birokrat Turki seolah buta terhadap realita itu, justru mereka menunjukkan perilaku fanatik sempit terhadap asas Sekuler. Kalau melihat dari hak-hak masyarakat pun, pemimpin Islam tadi tidak pernah mencederainya. Jauh berbeda dengan anggapan bahwa saat sistem Islam yang berlaku di Turki, kediktatoran dan penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi. Jadi tidak ada alasan lagi seharusnya untuk semua rakyat Turki tak terkecuali, saat tetap memelihara ketakutan dan kekhawatiran itu. Apalagi terbukti dengan jumlah suara 34,1 persen yang diperoleh Partai Keadilan Pembangunan (AKP: Adalet ve Kalkinma Partisi) pada pemilu 3 November 2002 lalu, bukanlah sebuah kebetulan.

Krisis politik yang terjadi di Turki sekarang merupakan cerminan ketidaksehatan demokrasi. Tindakan pihak oposisi yang “memboikot” seperti menikam keberhasilan pihak Islam dari belakang. Semoga saja krisis ini tidak semakin diperburuk dengan penggunaan kewenangan militer yang tidak semestinya. Turki adalah sebuah cerminan saat demokrasi disalahartikan. Pihak “pengusung” demokrasi itupun semakin terbuka boroknya, mereka hanya menginginkan demokrasi sama dengan Anti Islam.

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger